
Repelita Jakarta - Boni Hargens sebagai analis politik berpengalaman menyampaikan peringatan tajam mengenai Komite Reformasi Polri yang berisiko terperangkap dalam kondisi paralysis of analysis atau analisis berlebihan yang tak kunjung menghasilkan langkah nyata.
Fenomena ini muncul saat terlalu banyak energi dicurahkan untuk menelaah dan membahas isu tanpa pernah mencapai fase pelaksanaan resolusi yang diperlukan.
"Komite Reformasi Polri menghadapi risiko serius terjebak dalam siklus analisis yang tidak berujung tanpa menghasilkan aksi konkret karena bekerja tidak cepat dan tidak transparan," ujar Boni Hargens dalam pernyataannya pada Kamis, 4 Desember 2025.
Potensi kelumpuhan analisis pada komite tersebut dinilai akan sangat merugikan karena dapat menghentikan kemajuan reformasi yang telah berlangsung positif di bawah arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sehingga proses perbaikan terhenti di tengah perjalanan.
Selain itu, masyarakat yang mengharapkan transformasi riil kemungkinan besar akan semakin kehilangan keyakinan terhadap dedikasi pemerintah dalam memperbaiki lembaga kepolisian.
Hilangnya kepercayaan rakyat ini berpotensi menciptakan kesenjangan antara warga dan aparat penegak hukum padahal kolaborasi keduanya esensial untuk mencapai keamanan serta ketertiban yang adil.
Boni merekomendasikan agar Komite Reformasi Polri segera bertindak dengan menjunjung tinggi keterbukaan guna mencegah celah bagi campur tangan politik yang merusak.
Apabila reformasi tidak dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan maka peluang untuk agenda rahasia akan semakin terbuka lebar.
Kelompok dengan kepentingan politik spesifik bisa memanfaatkan situasi reformasi untuk menyisipkan rencana mereka sendiri.
Risiko penyusupan ini termasuk upaya mengganti kepemimpinan Polri demi tujuan partisan yang sangat membahayakan esensi reformasi itu sendiri.
Lebih jauh lagi, Boni menekankan bahwa dampak dari analisis yang berlarut-larut adalah penurunan legitimasi Polri sehingga lembaga ini berpotensi kehilangan kemandiriannya dan berubah menjadi perangkat politik alih-alih penjaga hukum yang imparsial.
Reformasi Polri wajib dilindungi dari pembajakan oleh motif politik karena kemandiriannya sebagai penegak hukum merupakan pondasi demokrasi yang harus dijaga ketat.
Salah satu ancaman terbesar menurut Boni adalah inisiatif untuk mengubah pimpinan Polri bukan atas dasar prestasi serta kemampuan melainkan untuk menyesuaikan dengan agenda kelompok politik yang ingin menguasai institusi tersebut.
Jika hal ini terjadi maka Polri akan kehilangan peranannya sebagai lembaga penegak hukum yang mandiri dan malah menjadi alat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak saja.
Reformasi Polri yang autentik tidak boleh hanya bergantung pada penataan struktur atau penggantian personel di tingkat atas.
Inti reformasi yang hakiki berada pada perubahan budaya organisasi yang mendalam di seluruh tingkatan kepolisian mulai dari pucuk pimpinan hingga anggota dasar yang saat ini sedang digerakkan oleh Kapolri Listyo Sigit.
Oleh karena itu, transformasi budaya ini perlu mencakup tiga fondasi krusial untuk kepolisian yang modern dan berbasis demokrasi.
Pertama adalah profesionalisme di mana tiap personel Polri harus memiliki keahlian teknis yang handal, pendekatan kerja yang fokus pada pencapaian, serta komitmen total terhadap penegakan hukum tanpa diskriminasi.
Kedua adalah keterbukaan yang mewajibkan Polri untuk menerima pengawasan masyarakat dan menjalankan setiap prosedur dengan cara yang dapat diverifikasi secara publik.
Ketiga adalah pertanggungjawaban di mana setiap langkah dan keputusan harus bisa dijelaskan dengan gamblang disertai sistem hukuman yang tegas bagi pelanggar.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

