Repelita Jakarta - Selama bertahun-tahun, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki utang triliunan rupiah kepada PT Pertamina (Persero) akibat pembelian bahan bakar minyak.
Pihak TNI, khususnya Angkatan Laut, mengusulkan agar utang tersebut diputihkan karena dianggap menghambat operasional.
Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali menyebut TNI AL menunggak sebesar Rp5,45 triliun kepada Pertamina.
Dalam rapat bersama Komisi I DPR, ia mengungkapkan harapan agar utang tersebut dapat dihapus demi kelancaran tugas.
Menurutnya, kapal perang TNI AL memerlukan suplai bahan bakar yang konstan, bahkan saat tidak berlayar, demi menjaga sistem elektronik.
Ali juga menyoroti perbedaan perlakuan dalam pembelian BBM antara TNI dan Polri.
TNI membeli BBM dengan harga industri, sementara Polri disebut mendapatkan harga subsidi dari pemerintah.
Ia berharap ke depannya bisa terjadi penyamaan perlakuan harga antara TNI dan Polri.
Pertamina menyatakan akan berkoordinasi dengan pemerintah, namun tetap menegaskan bahwa perusahaan harus menjaga kestabilan operasional.
Masalah utang ini bukan hal baru.
Pada 2006, utang TNI kepada Pertamina telah mencapai Rp1,6 triliun.
Jumlah itu melonjak menjadi Rp7 triliun pada 2009 dan terus naik hingga Rp10 triliun pada 2017.
Pembelian BBM oleh TNI dilakukan berdasarkan peraturan internal Kementerian Pertahanan.
Skema pembelian melibatkan rencana kebutuhan tahunan dan triwulan yang diajukan ke Kementerian Pertahanan dan disalurkan melalui Pertamina.
Prosedur tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 5 Tahun 2020.
Meski pembelian bisa dilakukan melalui pemasok lain, mekanismenya harus melalui lelang.
Setelah pembelian, TNI wajib melaporkan penggunaan bahan bakar ke Kementerian Pertahanan.
Masalah muncul karena ketidaksesuaian antara kebutuhan operasional dan anggaran negara yang dialokasikan.
Menurut pakar pertahanan Jaleswari Pramodhawardani, kesenjangan itu memicu utang sebagai solusi jangka pendek.
Ia menyebut bahwa TNI AL membutuhkan bahan bakar dalam jumlah besar untuk menjaga kesiapsiagaan kapal perang.
Fluktuasi harga BBM dan waktu pencairan anggaran yang tidak sinkron turut memperparah masalah.
Jaleswari juga menyoroti kemungkinan inefisiensi dan lemahnya pengawasan dalam penggunaan bahan bakar di tubuh TNI.
Pada 2024, TNI AL menerima anggaran Rp24,75 triliun dari APBN.
Tahun sebelumnya, anggarannya sebesar Rp23,7 triliun.
Namun, menurut Jaleswari, angka tersebut belum cukup untuk mengakomodasi kebutuhan nyata di lapangan.
Dalam rapat bersama DPR, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin belum memberikan solusi konkret terhadap tunggakan tersebut.
Ia hanya menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BBM TNI.
Langkah digitalisasi penggunaan bahan bakar disebut sedang diterapkan untuk meningkatkan pengawasan.
Hingga kini, belum ada keputusan resmi apakah utang TNI akan dihapuskan atau tidak.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok