Repelita, Jakarta 23 Desember 2024 - Kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025, terus memicu polemik di masyarakat. Berbagai elemen masyarakat, termasuk politisi, menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini.
Wakil Ketua Banggar dan Anggota Komisi XI DPR RI, Wihadi Wiyanto, merespons pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit, yang menyarankan agar pemerintah dapat mengusulkan penurunan tarif PPN. Wihadi menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat begitu saja menurunkan tarif PPN yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menurut Wihadi, Dolfie, sebagai kader PDIP yang turut mengusulkan UU HPP, seharusnya lebih memahami secara menyeluruh setiap pasal yang terkandung dalam peraturan tersebut. Wihadi menilai bahwa Dolfie tidak membaca Pasal 7 ayat 3 dengan utuh, karena di ayat 4 disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dapat menetapkan asumsi tarif PPN dalam rentang 5 hingga 15 persen berdasarkan persetujuan DPR pada pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
"Jadi, pemerintah tidak bisa langsung menurunkan tarif PPN begitu saja. APBN 2025 sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR," jelas Wihadi.
Wihadi juga menegaskan bahwa pernyataan Dolfie adalah bentuk kebohongan publik yang bisa memprovokasi rakyat. Ia menilai pernyataan tersebut berusaha menciptakan opini seolah-olah pemerintah tidak berpihak pada rakyat, padahal UU HPP merupakan produk yang disahkan saat PDIP masih menjadi partai penguasa.
Sebelumnya, Dolfie Othniel Frederic Palit menyatakan bahwa pemerintah Prabowo Subianto seharusnya dapat mengusulkan perubahan tarif PPN, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UU HPP Pasal 7 Ayat 3. Dalam ketentuan tersebut, tarif PPN dapat berada dalam rentang 5 hingga 15 persen, yang berarti tarif tersebut dapat diturunkan maupun dinaikkan.
Kebijakan kenaikan tarif PPN ini terus menjadi sorotan publik, dengan berbagai kalangan yang menuntut pembatalan atau peninjauan ulang kebijakan tersebut. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok