
Repelita Jakarta - Pernyataan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Gerindra, Endipat Wijaya, menjadi perbincangan luas setelah cuplikan ucapannya beredar di media sosial dan memantik respons masyarakat karena dianggap menyindir donasi publik sebesar Rp10 miliar yang dinilai lebih menonjol dibandingkan kinerja pemerintah.
Rekaman tersebut berasal dari rapat kerja dengan Komdigi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin 8 Desember 2025, dan sejak beredar di berbagai platform digital langsung menuai sorotan tajam dari publik mengenai fungsi pengawasan DPR RI.
Sejumlah warganet menilai polemik ini mencerminkan lemahnya kinerja legislasi, terutama terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap memiliki kaitan dengan meningkatnya risiko bencana alam akibat ketidakseimbangan pengelolaan lingkungan.
Dalam aksi damai pada 2021, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menyampaikan bahwa perusahaan semakin mudah melakukan pengambilalihan lahan masyarakat dengan dasar legal yang diperoleh dari UU Cipta Kerja.
Situasi serupa pernah menimpa Bupati Sorong yang digugat tiga perusahaan sawit usai pencabutan izin, sementara masyarakat Pulau Sangihe menghadapi ancaman beroperasinya tambang emas yang membayangi masa depan lingkungan dan kehidupan sosial mereka.
Arie pada 5 Oktober 2021 menegaskan bahwa konflik-konflik tersebut memunculkan kekesalan publik karena alih-alih membawa manfaat bagi masyarakat, kebijakan yang mendorong investasi justru menempatkan keberlanjutan lingkungan serta sumber penghidupan masyarakat dalam posisi yang rentan.
Greenpeace Indonesia menilai kerusakan lingkungan, hilangnya hak-hak masyarakat adat dan kelompok rentan, serta melemahnya proses demokrasi berkaitan erat dengan menguatnya pengaruh oligarki dalam menentukan arah kebijakan negara.
Kondisi tersebut terlihat dari bagaimana sejumlah elit politik memiliki peran ganda sebagai pejabat publik sekaligus pihak yang berkepentingan dalam aktivitas bisnis berbasis sumber daya alam sehingga mempengaruhi keputusan pengelolaan lingkungan.
Salah satu persoalan mendasar dalam Omnibus Law terletak pada perubahan mekanisme perizinan investasi berbasis lahan yang berdampak pada sektor ekstraktif dan memberi karpet merah bagi proyek strategis nasional yang berpotensi mengabaikan aspek perlindungan lingkungan.
Izin lingkungan yang sebelumnya menjadi prasyarat kini digantikan oleh persetujuan lingkungan yang memiliki kedudukan lebih lemah dan ditempatkan sebagai bagian dari perizinan berusaha yang lebih umum.
Kewajiban analisis mengenai dampak lingkungan juga mengalami pelonggaran karena hak masyarakat untuk menyampaikan keberatan dihapus sehingga mengurangi ruang kontrol publik terhadap proses perizinan.
Komisi evaluasi AMDAL di tingkat daerah yang semula melibatkan perwakilan masyarakat, pakar lingkungan, dan pemerhati lingkungan dihapus, dan seluruh kewenangannya dipusatkan pada pemerintah pusat.
Sejumlah ketentuan lain dalam regulasi turut dinilai melemahkan penegakan hukum sehingga perusahaan yang tidak patuh berpeluang memperoleh kelonggaran dalam proses hukum.
Akar permasalahan kerusakan lingkungan di Indonesia juga dikaitkan dengan praktik korupsi karena relasi erat antara elit politik dan pelaku usaha yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan standar perlindungan.
Pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dipandang sebagai bagian dari strategi kelompok elit untuk menghindari jerat hukum terkait korupsi dalam sektor sumber daya alam.
Mengutip laporan forestdigest.com, sejumlah aturan dalam UU Cipta Kerja disebut berpotensi mengesampingkan kepentingan lingkungan hidup demi kemudahan investasi dan memberikan ruang yang lebih besar bagi pelaku industri untuk mengabaikan aspek perlindungan ekologis.
Berikut beberapa isi UU Ciptaker yang berlawanan dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan menurut Forest Digest:
1. Proteksi lingkungan tidak ditegaskan sebagai bagian dari keputusan industri.
2. Izin lingkungan untuk perusahaan dihapus dan diganti dengan persetujuan lingkungan dari pemerintah.
3. Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihilangkan.
4. Penilaian AMDAL dimonopoli pemerintah tanpa melibatkan pihak independen.
5. Aktivis, pengamat, dan ahli lingkungan tidak lagi dilibatkan dalam penyusunan AMDAL.
6. Komisi Penilai AMDAL ditiadakan sepenuhnya.
7. Informasi mengenai kelayakan lingkungan hidup tidak ditegaskan sebagai hal yang mudah diakses publik.
8. Pengawasan serta sanksi administratif terkait perlindungan lingkungan berada sepenuhnya di tangan pemerintah pusat.
9. Jenis-jenis sanksi administratif yang sebelumnya ada dihapus.
10. Akses untuk menggugat kerusakan lingkungan ditutup sehingga ruang keadilan bagi masyarakat semakin sempit.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

