
Repelita Jakarta - Penulis ternama yang juga berlatar belakang akuntansi, Darwis atau lebih dikenal sebagai Tere Liye, menyajikan analisis mendalam melalui tabel perbandingan di platform media sosial mengenai dua kasus dugaan penyimpangan keuangan di proyek transportasi nasional, yakni operasional PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Indonesia Ferry dengan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dikenal sebagai Whoosh.
Tabel yang diunggahnya pada 26 November 2025 menyoroti perbedaan signifikan dalam skala kerugian negara, di mana nilai penyimpangan pada kasus PT ASDP hanya mencapai Rp1,25 triliun sementara pada Whoosh mencapai Rp126 triliun yang melibatkan pembengkakan biaya proyek, beban bunga pinjaman, serta dugaan upaya menyesatkan opini publik.
Sumber aliran kerugian juga berbeda secara mendasar, dengan kasus PT ASDP yang mengalir ke entitas PT Jembatan Nusantara, sedangkan pada Whoosh kerugian negara diduga menguntungkan badan usaha milik negara China beserta kontraktor, pemasok barang, dan lembaga pemberi pinjaman internasional.
Meskipun demikian, kedua kasus menunjukkan kesamaan dalam indikasi utama berupa pengabaian rekomendasi dari tim konsultan independen yang seharusnya menjadi panduan pengambilan keputusan strategis.
Namun, implikasi jangka panjang keduanya justru kontras, di mana PT ASDP berhasil mencatatkan pertumbuhan laba yang mengesankan meski sempat terjerat isu tersebut, sementara proyek Whoosh meninggalkan warisan utang sebesar Rp110 triliun ditambah beban bunga tahunan Rp2 triliun yang membebani anggaran negara ke depan.
Yang lebih mencolok adalah perbedaan dalam penanganan hukum, sebab kasus PT ASDP sudah memiliki terdakwa yang divonis, termasuk hukuman penjara empat tahun untuk salah satu pihak utama, sedangkan kasus Whoosh hingga kini belum melahirkan satu pun tersangka meski Komisi Pemberantasan Korupsi telah memulai penyelidikan awal.
Tere Liye menutup unggahannya dengan pertanyaan retoris Jadi kapan beliau-beliau itu diproses hukum yang mencerminkan keresahan atas ketidakseimbangan proses peradilan di tingkat tinggi.
Sebelumnya, dalam persidangan kasus PT ASDP, Hakim Ketua Sunoto menyampaikan dissenting opinion yang menilai eks Direktur Utama Ira Puspadewi seharusnya dibebaskan dari segala tuntutan pidana berdasarkan Pasal 191 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Menurut Sunoto, tindakan para terdakwa termasuk Direktur Komersial dan Pelayanan Muhammad Yusuf Hadi serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono lebih tepat dikategorikan sebagai keputusan bisnis suboptimal daripada tindak pidana korupsi.
Ia menekankan bahwa pertanggungjawaban yang sesuai justru melalui jalur gugatan perdata, penerapan sanksi administratif internal, dan reformasi sistem pengelolaan perusahaan untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Meski demikian, putusan akhir majelis hakim tetap menjatuhkan pidana penjara empat tahun enam bulan disertai denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan bagi Ira Puspadewi, sementara Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono masing-masing dipidana empat tahun penjara plus denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan.
Keputusan tersebut kemudian mendapat grasi khusus dari Presiden Prabowo berupa hak rehabilitasi bagi ketiga terdakwa, yang memungkinkan pemulihan status hukum mereka setelah menjalani sebagian hukuman.
Sementara itu, penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap proyek Whoosh terus berlangsung tanpa penetapan tersangka hingga saat ini, meninggalkan tanda tanya besar mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam proyek infrastruktur strategis nasional.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

