
Repelita Jakarta - Sastrawan ternama Goenawan Mohamad menyuarakan kekhawatiran mendalam atas fatwa Majelis Ulama Indonesia yang membebaskan rumah hunian dari pungutan pajak berulang, mengingatkannya sebagai kebutuhan dasar yang setara dengan makanan pokok dan pakaian.
Menurutnya, keputusan lembaga keagamaan tersebut berpotensi memicu ketidaksetaraan sosial yang parah di tengah kesenjangan ekonomi yang masih mencolok di masyarakat Indonesia.
Pada 25 November 2025, akun X @GM_Goenawan memposting bahwa fatwa MUI soal rumah hunian tidak boleh dipajak bisa menimbulkan ketidakadilan sosial dan sebaiknya diabaikan.
Goenawan menduga bahwa pihak penerbit fatwa mungkin belum memperhatikan kondisi hunian-hunian bernilai miliaran milik kalangan elite yang jauh dari definisi kebutuhan primer sederhana.
Ia bahkan menambahkan ungkapan nauzubillah untuk menggambarkan kemewahan berlebih pada properti kelas atas tersebut yang seharusnya tetap berkontribusi pada pendapatan negara melalui pajak.
Fatwa yang menjadi sorotan ini dikeluarkan sebagai tanggapan atas keresahan warga terkait lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan yang dianggap membebani penduduk berpenghasilan rendah.
MUI menegaskan bahwa tanah serta bangunan yang difungsikan sebagai tempat tinggal pribadi dan bukan untuk usaha komersial tidak pantas dikenai beban pajak tahunan.
Poin utama fatwa menekankan bahwa elemen kebutuhan pokok seperti perumahan dasar harus dilindungi dari pungutan berulang agar tidak menambah beban hidup rakyat jelata.
Selain hunian, barang-barang esensial seperti bahan makanan pokok juga dikecualikan dari pajak ganda demi menjaga prinsip keadilan ekonomi sesuai ajaran agama.
Pajak hanya dianggap sah jika ditujukan pada aset yang bersifat produktif atau memenuhi kebutuhan tambahan serta mewah, bukan pada yang mendukung kelangsungan hidup minimal.
Batas kemampuan finansial untuk membayar pajak diusulkan setara dengan ambang zakat, sehingga individu dengan harta di bawah nilai tertentu bebas dari kewajiban tersebut.
Fatwa ini diharapkan memengaruhi revisi aturan perpajakan agar lebih berpihak pada mayoritas masyarakat, meskipun kritik seperti dari Goenawan menyoroti risiko diskriminasi kelas sosial yang bisa timbul akibatnya.
Goenawan menutup pandangannya dengan harapan agar fatwa semacam ini tidak dijadikan dasar kebijakan yang mengorbankan kepentingan bersama demi kelompok berprivilese.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

