Kelompok politik yang dikenal dekat dengan mantan presiden langsung angkat bicara untuk meluruskan informasi keliru yang beredar di ruang publik, menegaskan bahwa tidak ada keterlibatan resmi dalam pembukaan operasional bandara tersebut.
Pernyataan itu disampaikan melalui juru bicara senior partai pada 26 November 2025, yang menekankan adanya upaya sengaja untuk memanipulasi narasi demi kepentingan politik sempit, sementara fakta lapangan justru menunjukkan dua entitas penerbangan terpisah di wilayah yang sama.
Fasilitas yang menjadi pusat kontroversi ini merupakan bagian dari kompleks pengolahan mineral terintegrasi yang dibangun untuk mendukung rantai pasok global, di mana bandara khusus dirancang khusus melayani kebutuhan logistik internal tanpa membuka akses umum.
Kedua bandara yang ada di kawasan Morowali memiliki fungsi berbeda, dengan satu di antaranya dikelola langsung oleh otoritas penerbangan nasional dan telah beroperasi lancar sejak dibuka secara resmi pada akhir 2018 bersamaan dengan pengembangan infrastruktur udara di wilayah Sulawesi lainnya.
Bandara milik swasta yang kini disorot memiliki kode identifikasi internasional sendiri dan terdaftar sebagai fasilitas non-publik yang terbatas pada penerbangan domestik, meskipun sempat mendapat pengecualian terbatas untuk rute luar negeri dalam situasi darurat seperti evakuasi medis.
Lokasi kompleks industri ini membentang di lahan luas sekitar empat ribu hektare di wilayah pedesaan Bahodopi, yang sebelumnya dikenal sebagai area pertambangan tradisional, sehingga pembangunan infrastruktur pendukung seperti landasan pacu menjadi kebutuhan vital untuk efisiensi operasional.
Kantor pusat pengelola berada di ibu kota negara sementara unit lapangan ditempatkan tepat di desa setempat untuk mengawasi aktivitas harian, termasuk pengiriman bahan baku dan hasil olahan yang mendominasi ekspor mineral nasional.
Sejarah proyek ini bermula dari kemitraan strategis antara entitas lokal dan investor asing pada 2009, yang awalnya fokus pada eksploitasi bijih nikel di lahan hampir lima puluh ribu hektare sebelum berkembang menjadi pusat pemrosesan terpadu.
Pada pertengahan 2013, kesepakatan diawali dengan peletakan fondasi pabrik pemurnian, diikuti penandatanganan formal pendirian kawasan pada Oktober tahun yang sama dalam forum bilateral tingkat kepala negara antara pemimpin Indonesia dan mitra dagang utama.
Pembangunan fasilitas utama, termasuk smelter awal, rampung dan diresmikan pada Mei 2015 sebagai bagian dari upaya nasional memperkuat hilirisasi sumber daya alam, yang sejak itu menyerap ribuan tenaga kerja lokal dan menciptakan efek berganda pada ekonomi daerah.
Hingga akhir 2024, kompleks ini mempekerjakan puluhan ribu orang dengan proporsi signifikan dari wilayah sekitar, meskipun tantangan seperti kecelakaan kerja dan dampak lingkungan sering menjadi sorotan aktivis hak buruh.
Kontroversi terkini muncul setelah inspeksi lapangan oleh menteri pertahanan pada 20 November 2025, yang mengungkap kurangnya kehadiran lembaga fiskal dan pengendalian perbatasan di bandara khusus, meskipun perusahaan mengklaim sudah memenuhi regulasi penerbangan nasional.
Pejabat daerah setempat menyatakan dukungan penuh terhadap tuntutan pembatalan status internasional sementara untuk fasilitas tersebut, guna memastikan kedaulatan wilayah dan mencegah potensi penyalahgunaan yang merugikan kepentingan publik.
Editor: 91224 R-ID Elok

