
Repelita Jakarta - Sidang sengketa informasi publik terkait salinan ijazah Presiden Joko Widodo kembali memunculkan ketegangan di ruang Komisi Informasi Pusat.
Pemohon Bonatua Silalahi menuding Komisi Pemilihan Umum melakukan tindakan sewenang-wenang dengan menghitamkan sembilan bagian penting dokumen ijazah tanpa melalui prosedur uji konsekuensi terlebih dahulu.
Ini seperti ada tekanan. Pesannya jelas, tutup dulu, ributnya nanti saja di meja sengketa.
Menurut Bonatua, KPU seolah mendapat instruksi mendadak untuk menutup data kemudian mencari-cari alasan pembenarannya belakangan.
Bagian-bagian yang tiba-tiba dihitamkan meliputi nomor ijazah, nomor induk mahasiswa, tempat lahir, tanggal lahir, tanda tangan pejabat legalisir, tanggal legalisir, tanda tangan Rektor UGM, tanda tangan Dekan Fakultas Kehutanan, serta cap dan paraf lainnya.
Bonatua menegaskan bahwa elemen-elemen tersebut sama sekali bukan termasuk informasi pribadi yang wajib dirahasiakan menurut undang-undang keterbukaan informasi publik.
Tanda tangan pejabat, tanggal legalisir, identitas pemberi legalisasi—itu bukan informasi yang otomatis harus ditutup.
Dalam persidangan, perwakilan KPU gagal memberikan penjelasan yang konsisten mengenai dasar hukum penutupan sembilan bagian tersebut.
KPU bahkan mengakui secara terbuka bahwa proses uji konsekuensi yang menjadi syarat mutlak belum pernah dilaksanakan sama sekali.
Majelis Komisi Informasi Pusat lantas menegur keras sikap KPU dan memerintahkan lembaga penyelenggara pemilu itu untuk segera melaksanakan uji konsekuensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
KPU diberi batas waktu tujuh hari kerja untuk menyelesaikan uji konsekuensi beserta dasar hukum yang jelas serta bukti pendukung atas setiap bagian yang ingin dikecualikan.
Dengan putusan sementara ini, publik kini menunggu apakah penutupan informasi tersebut benar-benar memenuhi syarat pengecualian atau hanya manuver administratif yang tidak berdasar.
Editor: 91224 R-ID Elok

