Repelita Jakarta - Posisi Rismon Hasiholan Sianipar sebagai pakar forensik digital dipertanyakan setelah muncul tanggapan dari sesama pakar, Muhammad Nuh Al-Azhar, terkait analisis Rismon dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin.
Nuh menilai Rismon tidak memiliki keterikatan dengan komunitas profesional yang diakui, sehingga kredibilitas keahliannya patut dipertanyakan.
Ia menegaskan seorang ahli forensik digital seharusnya tergabung dalam asosiasi resmi seperti Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) sebagai bentuk legitimasi profesi.
Lebih lanjut, Nuh menyatakan seluruh materi yang dianalisis Rismon sebelumnya sudah dibahas di persidangan, termasuk perbedaan jumlah frame, tampilan hitam-putih, dan aplikasi yang digunakan.
Nuh juga menyinggung Rismon yang tidak mau melakukan konfrontasi ulang di pengadilan, padahal sebelumnya meminta pemeriksaan ulang, dan menilai langkah Rismon menggunakan rekaman CCTV dari YouTube telah menimbulkan distorsi sebanyak tiga tingkat.
Ia menegaskan perubahan display aspect ratio rekaman CCTV yang dianalisis Rismon tidak sesuai standar internasional forensik digital, dan bukti tersebut sebelumnya sudah dipaparkan di persidangan PN Jakarta Pusat.
Menurut Nuh, tidak ada rekayasa bukti dalam kasus ini, dan semua analisis dilakukan secara ilmiah berdasarkan bukti yang diuji di persidangan.
Seluruh rekaman CCTV dianalisis momen per momen dan dipresentasikan mulai pagi hingga sore hari, termasuk setelah waktu dzuhur, untuk memastikan keakuratan.
Jessica Wongso divonis 20 tahun penjara atas pembunuhan Wayan Mirna Salihin pada 2016 dan bebas bersyarat sejak 18 Agustus 2024, tetap harus menjalani pembimbingan hingga 2032 sesuai aturan Kementerian Hukum dan HAM.
Meskipun sudah bebas bersyarat, Jessica tetap mengajukan peninjauan kembali karena merasa tidak bersalah dan ingin memulihkan nama baiknya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok
