Repelita Jakarta - Isu mengenai pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mengemuka dan menjadi bahan diskusi di tengah masyarakat.
Perbincangan ini muncul dalam situasi politik pasca Pemilu 2024 yang masih menyisakan ketegangan di berbagai kalangan.
Namun Mahfud MD, pakar hukum tata negara sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, memandang bahwa wacana tersebut sulit untuk direalisasikan.
Ia menjelaskan bahwa pemakzulan bukan sekadar proses hukum, melainkan harus mendapatkan dukungan kuat secara politik.
Mahfud menggarisbawahi bahwa tahapan pemakzulan membutuhkan persetujuan dari dua pertiga anggota DPR dalam sidang pleno.
Saat ini, dukungan parlemen terhadap koalisi Prabowo-Gibran sangat dominan dan mencakup sekitar 81 persen kursi DPR.
Kondisi ini menjadikan rencana pemakzulan sebagai langkah yang hampir tidak mungkin dari sisi politik.
“Enggak mungkin secara politik,” ujar Mahfud melalui siaran kanal YouTube resminya, Rabu, 7 Mei 2025.
Ia menilai bahwa dengan kekuatan koalisi yang solid, mekanisme pemakzulan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya karena terganjal oleh kalkulasi politik.
Walau begitu, Mahfud menyebut bahwa secara hukum, peluang pemakzulan tetap terbuka.
Menurutnya, Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden bisa dimakzulkan bila terbukti melakukan pelanggaran berat seperti korupsi, pengkhianatan terhadap negara, atau perbuatan tercela.
Namun untuk membuktikan hal tersebut, prosesnya sangat kompleks dan harus melalui berbagai tahapan.
Dimulai dari DPR, kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya diputuskan oleh MPR.
Mahfud menambahkan bahwa dalam sejarah politik Indonesia, pemakzulan sering kali tidak murni berdasarkan hukum semata.
Ia menyebut bahwa peristiwa pemakzulan di masa lalu sering kali dibalut dengan kerangka hukum untuk membenarkan manuver politik.
“Semua itu adalah rekayasa konstitusional yang dibuat seolah-olah sah, padahal intinya adalah politik,” tegas Mahfud.
Pernyataan ini menjadi refleksi bahwa antara hukum dan politik dalam sistem demokrasi sangat sulit dipisahkan.
Meski ada peluang secara konstitusi, hambatan politik bisa menjadi dinding yang kokoh dan tak mudah ditembus.
Namun sejarah politik nasional menunjukkan bahwa dinamika politik dapat menciptakan ruang baru bahkan dalam situasi yang tampak buntu.
Editor: 91224 R-ID Elok