Repelita Bandung - Logika sederhana yang diajarkan di sekolah dasar adalah jika masyarakat meragukan keaslian ijazah seorang Presiden atau mantan Presiden, maka cara paling tepat adalah dengan menunjukkan dokumen asli tersebut.
Seperti yang dilakukan Barrack Obama ketika ada keraguan soal kelahirannya, ia segera memperlihatkan akta kelahiran asli dari Honolulu. Masalah langsung selesai tanpa berlarut-larut.
Namun berbeda dengan Presiden Joko Widodo. Ia membiarkan keraguan publik berlangsung bertahun-tahun tanpa memberikan bukti nyata.
Jokowi tidak pernah menunjukkan ijazah asli baik SMA maupun perguruan tingginya. Bahkan hampir tidak ada yang diperkenankan melihat dokumen aslinya.
Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa ijazah Jokowi, mulai dari SD, SMP, SMA hingga S1, diduga palsu. Kondisi ini sangat mengherankan bagi seorang Presiden.
Chris Komari, aktivis demokrasi asal Amerika Serikat, menilai ada kejanggalan ketika Jokowi enggan memperlihatkan ijazahnya.
Menurutnya, jika ijazah itu asli, tidak ada alasan untuk menyembunyikannya. Seharusnya seorang alumnus universitas ternama bangga memperlihatkan ijazah kelulusannya.
Sebaliknya, ketakutan dan rasa tidak percaya diri justru memperkuat kecurigaan publik.
Pernyataan "preseden buruk jika ditunjukkan" hanya alasan yang dibuat-buat. Faktanya, yang lebih buruk adalah jika ijazah itu disembunyikan.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap keaslian ijazah Jokowi semakin meluas. Dugaan ijazah palsu pun semakin kuat.
Presiden Jokowi tampak terpojok dan mulai kehilangan keberanian menghadapi isu ini.
Berbagai langkah defensif mulai diambil, termasuk melaporkan pencemaran nama baik agar Polisi turun tangan melindungi.
Laporan ke Polda Metro Jaya diterima dengan sangat cepat. Pada 30 April 2025, laporan masuk dan langsung dilakukan pemeriksaan serta dikeluarkan Surat Perintah Lidik.
Namun proses ini terkesan dipaksakan dan janggal. Laporan pencemaran nama baik yang diajukan tidak menyebutkan nama pihak yang diduga melakukan pelanggaran.
Polisi diminta mencari siapa yang akan dilaporkan, yang sebenarnya tidak sesuai prosedur hukum.
Selain itu, alat bukti yang diserahkan berupa fotokopi ijazah, bukan dokumen asli.
Polda Metro Jaya tampak mengabaikan fakta bahwa Bareskrim Mabes Polri sudah lebih dulu menyelidiki kasus ini sejak April 2025.
Bareskrim bahkan memulai penyelidikan sejak Desember 2024 atas laporan dugaan penggunaan ijazah palsu.
Karena itu, proses di Polda Metro Jaya sebaiknya dihentikan dan menunggu hasil pemeriksaan Mabes Polri.
Jika dipaksakan, proses ini hanya akan menimbulkan kegaduhan dan merusak citra penegakan hukum di Indonesia.
Rakyat sudah benar bertanya, jika ijazah itu asli, mengapa harus disembunyikan dan takut memperlihatkannya?
Perilaku menghindar seperti tikus kecil yang ketakutan dan melompat-lompat seperti katak yang dikejar membuat publik semakin skeptis.
Demikian disampaikan M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok