Repelita, Jakarta - Desakan untuk mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencuat ke publik setelah sejumlah purnawirawan TNI menyuarakan keberatannya.
Langkah ini dinilai sebagai manuver politik yang menimbulkan kegaduhan nasional.
Pengamat politik Adi Prayitno menyebut usulan penggantian Gibran sebagai gempa politik yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurutnya, dalam sejarah demokrasi Indonesia, belum pernah ada seruan mengganti wakil presiden yang baru terpilih secara sah melalui pemilu.
Adi menegaskan bahwa wacana seperti ini berpotensi mencederai proses demokrasi dan membuka celah konflik horizontal.
Di sisi lain, pengamat hukum tata negara dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, menilai bahwa desakan pemberhentian wakil presiden tidak sesuai mekanisme konstitusi.
Ia menjelaskan, pengusulan pemakzulan hanya dapat dilakukan oleh DPR dan diuji melalui Mahkamah Konstitusi, bukan oleh kelompok masyarakat sipil atau individu tertentu.
Aan menekankan pentingnya seluruh elemen bangsa mematuhi ketentuan hukum yang berlaku agar stabilitas negara tidak terganggu.
Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerung berpendapat bahwa desakan mengganti Gibran muncul karena kekhawatiran Gibran akan menggantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI di masa mendatang.
Ia menilai kekuatan politik di belakang Gibran memicu keresahan di kelompok-kelompok yang merasa akan kehilangan pengaruh.
Pieter C. Zulkifli, pengamat politik dan hukum, menyebut tuduhan terhadap proses pencalonan Gibran sebagai wakil presiden lebih bersifat politis daripada yuridis.
Menurutnya, penting menjaga etika dan integritas politik.
Namun jika tuntutan tidak berlandaskan hukum yang kuat, hanya akan memunculkan kegaduhan dan perpecahan di masyarakat.
Pengamat politik Elang Wijaya Galang Ramadani menyoroti pentingnya investigasi mendalam terhadap pihak-pihak yang menghembuskan isu penolakan terhadap Gibran.
Ia mengingatkan bahwa Gibran telah memperoleh legitimasi melalui proses pemilihan yang sah sesuai konstitusi.
Boni Hargens, analis politik nasional, menilai wacana penggantian Gibran sebagai langkah inkonstitusional.
Menurutnya, Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa pemakzulan hanya dapat dilakukan jika presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran berat seperti korupsi, pengkhianatan terhadap negara, atau tindakan tercela lainnya.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo turut menyatakan bahwa Gibran adalah wakil presiden yang sah berdasarkan hasil pemilu.
Ia menolak anggapan bahwa ada dasar hukum untuk mencopot Gibran dari jabatannya.
Bamsoet meminta semua pihak menahan diri dan tidak melakukan tindakan yang bisa menimbulkan instabilitas nasional.
Dalam kondisi ini, stabilitas politik harus dijaga demi keberlanjutan pemerintahan dan pembangunan nasional.
Semua pihak diminta tunduk pada mekanisme konstitusi dan tidak mengedepankan kepentingan politik sesaat.
Langkah inkonstitusional hanya akan memperburuk situasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Oleh karena itu, penting menjaga suasana politik yang sehat dan produktif dalam bingkai konstitusi dan hukum yang berlaku.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok