Repelita, Tangerang - Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Mukri Fitriana, menilai alasan kelompok nelayan yang mengatasnamakan Jaringan Rakyat Pantura (JRP) terkait pembangunan pagar laut di Tangerang, Banten, sebagai tindakan yang tidak sesuai. Menurut Mukri, nelayan murni seharusnya lebih memahami cara mencegah abrasi secara benar.
Mukri menyebutkan bahwa klaim yang diajukan terkait pembangunan pagar laut di tengah laut hanya dianggap mengada-ada. "Namanya klaim ya nggak apa-apa, tapi kan ini, gampang aja lah ngeceknya. Kalau dia nelayan murni, dia understand yang namanya cara mencegah laut, sampai jangan naik ke darat nanti bukan dengan cara itu. Dia (JRP) pasang pagar di tengah laut. Kan ngarang-ngarang saja itu," ujar Mukri saat dihubungi Inilah.com, Minggu (12/1/2025).
Menurut Mukri, dampak dari pemasangan pagar tersebut justru merugikan nelayan kecil, meski dia belum dapat menyebutkan jumlah kerugian yang terdampak akibat kebijakan tersebut. "Karena kan biasanya masyarakat, nelayan kecil terutama ya, itu enggak pernah menghitung juga. Karena mereka yang jangkauannya hanya batas 5 mil. Katanya ini kesulitan pendapatan, karena kalau, boro-boro hasil gitu ya. Buat BBM-nya saja nambah," ungkap Mukri.
Sebelumnya, nelayan yang tergabung dalam JRP Kabupaten Tangerang, Banten, mengklaim bahwa pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang terbentang di laut Tangerang dibangun untuk mitigasi bencana tsunami dan abrasi. Koordinator JRP, Sandi Martapraja, menyatakan bahwa pagar laut tersebut sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat untuk mencegah abrasi dan dampak dari tsunami.
Sandi menjelaskan, "Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi." Menurut Sandi, fungsi pagar tersebut adalah mengurangi dampak gelombang besar, melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai, serta mencegah abrasi yang dapat merugikan ekosistem dan permukiman.
Kuasa hukum pengembang PSN PIK 2, Muannas Alaidid, juga memberikan bantahan serupa. "Itu hanyalah tanggul laut biasa yang terbuat dari bambu, yang dibuat dari inisiatif dan hasil swadaya masyarakat yang kami dengar. Bisa jadi pembatas, karena ada warga yang kebetulan punya tanah di pesisir, abis kena abrasi. Yang pasti bukan PIK (yang bangun)," ujar Muannas.
Namun, warga Desa Kronjo, Tangerang, Heru Mapunca, mengungkapkan bahwa pemasangan pagar laut dilakukan dengan cara yang tidak biasa. Heru mengaku pernah bertemu dengan para pelaku pemasangan pagar laut yang melakukannya pada malam hari. Dia melihat lima truk membawa bambu menuju Pulau Cangkir. Setelah memeriksa lokasi pada keesokan harinya, Heru menemukan sejumlah tukang yang sedang sibuk memasang bambu.
Heru bertanya kepada salah satu tukang, "Mang ini bambu buat apa?" dan dijawab, "Mau buat pagar di laut." Ketika ditanya lebih lanjut tentang proyek tersebut, tukang itu menyebutkan bahwa itu adalah proyek Agung Sedayu. Heru juga mengungkapkan bahwa pemasangan pagar laut dilakukan dengan menggunakan tiga perahu dan melibatkan sekitar sepuluh orang tukang.
Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR), Ahmad Khozinudin, mengungkapkan bahwa proyek pemasangan pagar laut ini melibatkan warga sekitar dan dilaksanakan dalam pengembangan PSN PIK 2. Menurut Khozinudin, pemasangan ini juga melibatkan beberapa tokoh yang kini menghilang dari peredaran. "Gojali bersama Ali Hanafiah Lijaya, saat ini menghilang dari peredaran. Engcun kabarnya ngumpet di Subang, sedangkan Ali Hanafiah Lijaya tak diketahui ada di mana," ujar Khozinudin.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok