
Repelita Morowali - Kabupaten kecil ini kembali menarik perhatian nasional karena aktivitas industri besar yang menggerus tanahnya serta langit yang dipenuhi debu dari pengolahan nikel.
Aroma bahan logam beserta dentuman mesin peleburan yang terdengar setiap malam sudah menjadi hal biasa bagi warga setempat.
Kali ini permasalahan muncul dari sebuah fasilitas penerbangan yang beroperasi layaknya wilayah otonom di dalam negara yang lebih luas.
Tidak ada proses imigrasi maupun pemeriksaan bea cukai di sana, meskipun pesawat berukuran besar seperti Airbus serta Boeing datang dan pergi hingga empat kali dalam sehari.
Menurut keterangan, bukanlah para penumpang biasa yang keluar masuk, melainkan muatan yang memiliki bobot jauh lebih berat daripada manusia pada umumnya.
Di tengah situasi ramai tersebut, seorang pria bernama Irwan Arya yang pernah menjabat sebagai Ketua DPRD setempat pada periode 2014 hingga 2019 tampil dalam sesi podcast dengan ekspresi tenang namun nada bicara yang sarat dengan beban masa lalu.
Ia lahir dan besar di wilayah tersebut di antara bukit-bukit yang kaya akan cadangan nikel, serta pada kesempatan itu ia membeberkan segala hal yang selama ini disembunyikan seperti barang berbahaya yang tersimpan rapat.
Ia menyatakan bahwa penangkapannya terjadi karena sikap penolakannya terhadap keberadaan bandara milik IMIP.
Warga setempat termasuk dirinya sebagai pejabat dibatasi akses masuk ke area industri tersebut.
Bahkan seorang ketua dewan perwakilan rakyat daerah pun harus mengikuti prosedur ketat, sehingga ia mempertanyakan mengapa penduduk asli tidak diperbolehkan memasuki tanah milik mereka sendiri.
Dalam rekaman tersebut, tawa kecilnya terdengar penuh kepahitan sambil mengenang peristiwa sekitar tahun 2017 sampai 2018 ketika bandara itu dibangun di pusat kawasan industri berdekatan dengan fasilitas penerbangan Maleo yang dikelola oleh pemerintah.
Dua bandara dalam satu kabupaten yang tidak terlalu luas dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan dan justru mencurigakan menurut pandangannya.
Bandara tersebut diduga bukan ditujukan untuk keperluan umum karena landasan pacunya cukup panjang untuk menampung pesawat besar.
Setiap harinya ada tiga hingga empat penerbangan yang mendarat tanpa pengawasan dari petugas imigrasi maupun bea cukai serta aparat keamanan negara yang seharusnya menjaga pintu masuk.
Ia mempertanyakan muatan apa yang dibawa keluar masuk tanpa adanya pengawasan resmi dari pihak berwenang.
Mereka hanya ingin mengetahui hal itu namun justru dituduh menyebarkan informasi palsu.
Dalam tatapannya ke arah kamera terlihat tekad kuat dari seseorang yang tidak lagi khawatir akan kerugian pribadi.
Ia menceritakan tentang keberadaan dua bandara yang saling berdampingan beserta protes yang pernah dilayangkannya terhadap perusahaan yang menutup kawasan hingga pejabat lokal harus menunggu seperti tamu asing di negeri sendiri.
Warga sekitar belum merasakan kesejahteraan meskipun produksi nikel terus mengalir tanpa henti.
Pendapatan asli daerah hanya mencapai sekitar Rp200 miliar per tahun yang dianggap terlalu rendah jika dibandingkan dengan nilai ekspor sebenarnya yang tidak pernah dilaporkan secara transparan.
Di luar rekaman, masyarakat membayangkan pesawat besar yang mendarat pada malam hari disusul truk-truk menuju gudang tertutup serta gambaran tentang entitas bayangan yang berdiri di antara asap dari proses peleburan.
Kalimat terakhir dari Irwan menggantung di ruangan bahwa jika dewan perwakilan bungkam dan bupati tidak berani mengambil sikap maka wilayah ini berpotensi menjadi seperti negara kecil lainnya.
Tidak ada yang menanggapi dengan tawa atau komentar tambahan.
Hanya suara mesin peleburan yang seolah terus bergaung di benak meskipun sesi telah berakhir.
Wilayah ini sekali lagi membuat seluruh negeri memperhatikan bukan karena kekayaan nikelnya melainkan suara penolakan yang tidak mau diam dan mengaku pernah dipaksa untuk bungkam.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

