Repelita Jakarta - Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa mengenai data subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram memicu kontroversi setelah ditemukan selisih data hingga Rp7 triliun dibandingkan dengan data yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI pada 1 Oktober 2025, Purbaya memaparkan besaran subsidi energi tahun anggaran 2025, termasuk LPG 3 kg yang disebut mencapai 70 persen dari harga keekonomian.
Berdasarkan pemaparannya, harga keekonomian LPG 3 kg disebut sebesar Rp42.750 per tabung, dengan harga jual ke masyarakat Rp12.750, sehingga pemerintah menanggung subsidi sekitar Rp30.000 per tabung.
Namun, data tersebut berbeda dengan pernyataan Bahlil yang sebelumnya menyebut bahwa subsidi LPG mencapai Rp36.000 per tabung atau sekitar Rp12.000 per kilogram.
Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, total subsidi LPG per tahun seharusnya mencapai Rp87 triliun, sementara versi Kementerian Keuangan hanya mencatat Rp80,2 triliun.
Selisih angka hampir Rp7 triliun tersebut menjadi sorotan publik dan menimbulkan tanda tanya mengenai akurasi data subsidi energi pemerintah.
Purbaya mengakui adanya kemungkinan kesalahan dalam pembacaan data yang disusun oleh timnya, serta menjelaskan bahwa perbedaan tersebut dapat terjadi karena metode perhitungan antara kementerian berbeda.
Ia menegaskan tengah mempelajari kembali data yang ada untuk memastikan keakuratan angka subsidi LPG dan bentuk tanggung jawab fiskal pemerintah terhadap masyarakat.
Di sisi lain, Bahlil Lahadalia juga menyoroti ketidaktepatan sasaran subsidi LPG, di mana sekitar 25 hingga 30 persen pengguna justru berasal dari kelompok masyarakat mampu.
Ia menekankan pentingnya penggunaan Data Terpadu Subsidi Energi Nasional agar penyaluran subsidi lebih akurat dan tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak berhak.
Masalah ini menjadi semakin kompleks karena perbedaan sumber data antar kementerian.
Kementerian Keuangan mengklaim telah menggunakan DTSEN yang dikembangkan bersama Badan Pusat Statistik, sementara Kementerian ESDM disebut belum sepenuhnya memanfaatkannya.
Ketidaksinkronan data tersebut menimbulkan kebingungan publik, terlebih karena dana subsidi LPG berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dikelola langsung oleh Kementerian Keuangan.
Jurnalis senior Hersubeno Arief menilai perbedaan angka sebesar Rp7 triliun bukan hal yang sepele.
Ia menyebut bahwa hal ini mencerminkan kurangnya koordinasi antarkementerian, terutama dalam penyajian data keuangan negara yang bersifat sensitif dan strategis.
“Makanya saya agak bertanya-tanya, kalau sampai Kementerian Keuangan salah membuat data, ini bisa cilaka loh. Karena semua duit untuk subsidi dan sebagainya itu keluarnya dari Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara. Dia harus betul-betul cermat,” ujarnya dalam tayangan YouTube pribadinya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok