Repelita Jakarta - Insiden pencabutan kartu identitas peliputan Istana milik wartawan CNN Indonesia, Diana Valencia, telah resmi diselesaikan dengan pengembalian penuh oleh pihak Istana Negara.
Pengembalian dilakukan secara langsung oleh Deputi Biro Protokol, Pers, dan Media Istana Mohammad Yusuf Permana pada Senin, 29 September 2025.
Acara tersebut berlangsung di Istana Negara dan dihadiri oleh Diana Valencia, Erlin Suastini dari Sekretariat Presiden, Pemimpin Redaksi CNN Indonesia Titin Rosmasari, serta Totok Suryanto dari TVOne yang mewakili Dewan Pers periode 2025–2028.
Pihak Istana menyampaikan permohonan maaf atas pencabutan ID yang terjadi sebelumnya dan menegaskan bahwa kejadian serupa tidak akan terulang.
Pemerhati telematika dan multimedia, Dr. KRMT Roy Suryo, menilai bahwa insiden tersebut sempat mengganggu iklim kebebasan pers di Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa pencabutan ID Diana terjadi setelah ia mengajukan pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai kasus keracunan siswa akibat makanan dari program Makan Bergizi Gratis.
Menurut Roy Suryo, tindakan pencabutan yang dilakukan oleh staf BPMI Sekretariat Presiden dan pengambilan kartu ke kantor CNN Indonesia merupakan bentuk intervensi terhadap tugas jurnalistik.
Ia menyebut bahwa kritik dari organisasi pers seperti PWI, IJTI, dan Dewan Pers serta protes dari masyarakat dan netizen menunjukkan bahwa kebebasan pers masih rentan terhadap tekanan.
Roy Suryo menegaskan bahwa pengembalian ID Diana beserta seluruh hak peliputan yang melekat di dalamnya merupakan langkah penting untuk memulihkan kepercayaan terhadap komitmen pemerintah dalam menjamin kebebasan pers.
Ia menyoroti bahwa peliputan di institusi negara harus dijalankan dengan menjunjung tinggi prinsip transparansi dan keterbukaan informasi.
Dalam pandangannya, sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 sangat relevan untuk menilai insiden ini.
Pasal 2 menyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat dan harus bebas dari campur tangan pihak mana pun.
Pasal 3 menegaskan bahwa pers memiliki hak dan kewajiban dalam menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa pers nasional tidak dapat dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Pasal 8 memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dalam menjalankan profesinya.
Pasal 18 mengatur sanksi pidana bagi siapa pun yang secara sengaja menghambat tugas pers.
Roy Suryo juga mengingatkan bahwa UU Pers mengakui hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi sebagai bagian dari kontrol internal media.
Ia menjelaskan bahwa meski UU Pers tidak secara spesifik mengatur akses ke lembaga negara seperti Istana, prinsip kebebasan pers tetap harus dijaga.
Menurutnya, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga menjadi dasar hukum yang mewajibkan lembaga negara memberikan akses informasi kepada masyarakat selama bukan informasi yang dikecualikan.
Roy Suryo menekankan bahwa hubungan antara pers dan Istana harus berlandaskan pada prosedur yang adil dan transparan.
Ia menyebut bahwa tindakan pencabutan ID Diana terjadi di luar konteks agenda resmi dan telah dikoreksi dengan pengembalian ID serta permintaan maaf dari pihak Istana.
Dewan Pers dan organisasi pers meminta agar kejadian serupa tidak terulang dan menegaskan bahwa akses pers tidak boleh dihambat secara sepihak.
Roy Suryo menyimpulkan bahwa Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 merupakan payung hukum utama dalam melindungi tugas jurnalistik dari segala bentuk hambatan.
Ia menambahkan bahwa mekanisme akses ke lembaga negara seperti Istana harus dijalankan secara transparan agar tidak melanggar prinsip kebebasan pers.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok