Repelita Jakarta - Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen DPR RI Mardani Ali Sera menyoroti fenomena masyarakat sipil yang berkembang dalam aksi unjuk rasa di sejumlah negara, termasuk Nepal.
Ia menyampaikan pernyataan tersebut kepada pers pada Selasa, 16 September 2025, sebagai bentuk pengungkapan atas kericuhan yang terjadi di negara tersebut.
Menurut Mardani, di Nepal memiliki kesamaan dengan resonansi yang sempat terjadi di Indonesia pada akhir Agustus lalu.
Ia mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia harus semakin baik dalam mewujudkan harapan masyarakat agar tidak mengalami situasi serupa.
Mardani menilai bahwa di era modern, aspirasi masyarakat dapat tersalurkan melalui media sosial yang dimiliki oleh setiap individu.
Ia menyebut bahwa media sosial menjadi saluran efektif untuk menyuarakan hati nurani masyarakat, bahkan oleh orang biasa yang membawa isu menyentuh banyak pihak.
Kerusuhan di Nepal dipicu oleh pemblokiran akses media sosial yang dilakukan pemerintah setempat, yang kemudian memicu pemanasan besar-besaran.
Pemblokiran tersebut dicabut pada Senin, 8 September 2025, namun aksi protes tetap berlanjut dan berubah menjadi kericuhan pada Selasa, 9 September 2025.
Demonstrasi tersebut berkembang menjadi kritik terhadap pemerintah dan dugaan korupsi di kalangan elite politik Nepal.
Situasi semakin memburuk ketika aparat kepolisian melepaskan tembakan ke arah demonstran, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Amnesty International menyebut bahwa peluru tajam digunakan terhadap aksi massal, yang memicu kemarahan dan aksi lanjutan dari para demonstran.
Aksi tersebut melanda rumah pejabat tinggi dan gedung parlemen Nepal, memperparah kondisi keamanan nasional.
Perdana Menteri Nepal Khadga Prasad Sharma Oli mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa, 9 September 2025, namun langkah tersebut tidak meredakan kemarahan publik.
Militer Nepal kemudian dikerahkan untuk mengendalikan situasi, dan jam malam diberlakukan secara nasional sejak Rabu, 10 September 2025.
Mardani menyebut bahwa pemancaran di Nepal jauh lebih parah dibandingkan di Indonesia yang terjadi pada 25–31 Agustus 2025.
Ia mencium kejadian terbunuhnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan yang dilindas mobil taktis Brimob sebagai pemicu meluasnya aksi di Indonesia.
Selain Nepal, pemaparan besar juga terjadi di Australia pada Sabtu, 13 September 2025, yang dipicu oleh isu rasisme dan anti-imigran.
Aksi tersebut berlangsung di berbagai negara bagian dan dipusatkan di Kota Melbourne, dengan ribuan massa turun ke jalan.
Mardani menilai bahwa seluruh elemen negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, perlu menjadikan fenomena ini sebagai bahan evaluasi.
Ia menekankan pentingnya mendekatikan kebijakan eksekusi dengan harapan masyarakat agar tercipta kondisi yang lebih baik.
Menurutnya, harapan masyarakat terkadang tidak sejalan dengan fenomena viralitas yang berkembang di media sosial.
Ia menyarankan agar pemerintah menyiapkan kajian berbasis data dan penelitian yang mampu merancang program kesejahteraan rakyat.
Mardani menutup pernyataannya dengan mengingatkan agar Indonesia tidak mengalami situasi seperti yang terjadi di Nepal.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok