Repelita Jakarta - Kisruh dugaan pemalsuan skripsi dan ijazah milik mantan presiden kembali mencuat setelah yang bersangkutan mendatangi Polda Metro Jaya pada Rabu Pahing, 30 April 2025.
Hari itu dipilih sendiri oleh mantan presiden tersebut.
Menurut Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes, pemilihan hari tersebut bukan tanpa alasan.
“Dia sangat percaya dengan hari Rabu yang selalu dipilih untuk peristiwa penting,” kata Roy Suryo kepada Repelita.
Ia menyebut ada pola yang sama sejak menjabat sebagai kepala negara.
“Nawa Reshuffle alias sembilan kali reshuffle kabinet selama dua periode rezimnya selalu dilakukan hari Rabu, pasaran Pon,” katanya.
Ia kemudian merinci jadwal reshuffle kabinet pada era 2014–2024 yang seluruhnya dilakukan pada hari Rabu dan pasaran Pon.
“Pertama 12 Agustus 2015, kedua 27 Juli 2016, ketiga 17 Januari 2018, keempat 15 Agustus 2018, kelima 23 Desember 2020, keenam 28 April 2021, ketujuh 15 Juni 2022, kedelapan 25 Oktober 2023, kesembilan 21 Februari 2024,” papar Roy.
Ia menilai pemilihan hari Rabu Pahing 30 April 2025 saat melapor ke Polda Metro Jaya dilakukan secara terencana, meski sang mantan presiden baru pulang dari Vatican dan agenda itu baru dibahas dua hari sebelumnya.
“Menurut kuasa hukumnya, baru dirapatkan Senin 28 April 2025,” ujar Roy.
Ironisnya, kata Roy, laporan tersebut justru menyasar lima tokoh yang dikenal vokal menyoroti keaslian skripsi dan ijazah mantan presiden itu.
“Yakni RS (saya sendiri), RS (Dr. Rismon Sianipar), T (dr. Tifauzia Tiyassuma), ES (Eggy Sujana?), dan K (Kurnia Tri Royani?),” ujarnya.
Menurut Roy, pelaporan tersebut justru bertolak belakang dengan semangat Hari Keterbukaan Informasi Nasional (HKIN) yang jatuh pada tanggal 30 April.
“HKIN diperingati untuk menandai diundangkannya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa meskipun ada pasal pengecualian dalam UU tersebut, skripsi dan ijazah bukan bagian dari informasi yang dikecualikan.
“Alias bersifat terbuka untuk publik,” tegasnya.
Roy juga memaparkan bahwa pelaksanaan UU tersebut diatur dalam beberapa peraturan lanjutan, seperti PP No. 61 Tahun 2010, Perki No. 1 Tahun 2010, Perki No. 1 Tahun 2013, dan Perki No. 1 Tahun 2021.
“Dengan demikian sangat jelas ketika UGM mencoba berlindung di balik UU KIP No.14/2008, justru membuat publik makin tidak percaya,” ujar Roy.
Ia menambahkan, UGM mengklaim memiliki 34 dokumen lain seperti KRS dan kartu perpustakaan, tapi tidak satupun yang pernah ditunjukkan.
“Alias hanya naratif atau sekadar omon-omon saja,” katanya.
Roy mengatakan, jika sejak awal skripsi dan ijazah itu ditunjukkan secara terbuka, polemik ini tidak akan membesar.
“Masyarakat tidak perlu sampai harus seperti diadu domba oleh Junius Wedus sebagaimana film animasi AI karya akun TikTok @matt_kampoeng yang viral itu,” ucapnya.
Roy menyebut film tersebut menarasikan tokoh-tokoh seperti Praticus, Avirus Amelitus, Rimonus Septimus, dan lain-lain.
Ia juga mengutip pernyataan mantan Menteri Hukum dan HAM Prof. Hamid Awaludin yang menyebut bahwa pelaporan ini adalah bentuk playing victim.
“Beliau menyebut ini merupakan langkah panik karena baru sekarang mau menunjukkan dokumen tersebut,” kata Roy.
Roy menyatakan bahwa langkah hukum yang dilakukan mantan presiden itu malah mengundang simpati dan dukungan publik terhadap para pelapor.
“Sebagaimana acara di Gedung Juang 45 kemarin yang lantang meneriakkan #AdiliJokowi dan #MakzulkanFufufafa,” ungkap Roy.
Ia menyimpulkan bahwa pelaporan yang dilakukan pada momen Hari Keterbukaan Informasi Nasional ini sangat ironis.
“Justru terkesan ingin mengkriminalkan mereka yang memperjuangkan keterbukaan,” tutupnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok