Repelita Jakarta - Peran buzzer dalam media sosial Indonesia kerap dikaitkan dengan kontroversi terkait manipulasi opini publik dan etika digital.
Istilah buzzer sendiri mengacu pada individu atau kelompok yang bertugas menyebarkan pesan atau gagasan tertentu agar cepat diterima masyarakat.
Strategi mereka meliputi penyebaran narasi persuasif, kampanye hashtag, hingga interaksi massal untuk mempengaruhi pandangan publik.
Tujuannya bisa bermacam-macam, mulai dari kepentingan politik, bisnis, hingga isu sosial tertentu.
Namun, praktik buzzer sering menuai kritik terutama jika menggunakan akun palsu atau akun siluman yang menyembunyikan identitas asli.
Para pengamat media sosial memiliki pandangan berbeda terkait fenomena ini.
Beberapa menganggap buzzer sebagai bagian dari komunikasi modern yang menggunakan akun palsu untuk menciptakan dukungan palsu secara besar-besaran.
Namun, ada juga peneliti yang menegaskan tidak semua buzzer memakai akun bodong.
Sebagian justru memanfaatkan akun asli milik influencer dengan pengikut banyak untuk menyebarkan pesan secara lebih natural.
Perdebatan utama berkisar pada transparansi dan etika penggunaan akun-akun tersebut.
Akun palsu dianggap merusak ekosistem digital karena memanipulasi persepsi publik.
Sementara buzzer dengan akun asli kerap dikritik karena batasan antara konten promosi dan opini pribadi yang tidak jelas.
Salah satu sosok yang kini menjadi sasaran buzzer adalah pegiat media sosial sekaligus alumnus Universitas Gadjah Mada, Tifauzia Tyassuma atau yang dikenal sebagai Dr Tifa.
Sejak mempertanyakan keaslian ijazah Presiden Joko Widodo, akun media sosialnya sering mendapat serangan dari buzzer.
Kolom komentar postingannya di Twitter dipenuhi komentar negatif dan cacian dari akun-akun yang diduga buzzer.
Mereka berusaha membela Presiden sekaligus meragukan kredibilitas Dr Tifa sebagai peneliti.
Merasa jengah, Dr Tifa menciptakan istilah baru yang menurutnya lebih hina dibanding buzzer, yakni Termul.
Dalam unggahannya, Termul adalah singkatan dari Ternakan Si Mul.
Meski tidak menjelaskan siapa 'Mul', Dr Tifa menyebut istilah itu sebagai penghinaan yang lebih dalam.
Ia menjelaskan buzzer disebut lalat pendengung, makhluk yang hidup di sampah dan kotoran.
Sementara Termul adalah hewan ternak yang menurutnya dipelihara oleh pembohong, perampok, dan pengecut.
"Sudah mentok ini, tidak ada yang lebih hina dan lebih rendah dari julukan ini," tulis Dr Tifa.
Pernyataan tersebut mendapat beragam respon dari netizen.
Ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang mengkritik istilah Termul.
Beberapa komentar menyoroti dugaan kebohongan dan manipulasi oleh rezim yang berkuasa.
Netizen lain menilai bahwa buzzer banyak yang adalah pengangguran yang dibayar untuk mengomentari media sosial.
Ada pula yang menyatakan bahwa ketua buzzer bahkan sudah menjadi pejabat tinggi, namun sifatnya tetap sama.
Fenomena buzzer dan istilah baru Termul ini menggambarkan kompleksitas interaksi di media sosial Indonesia saat ini.
Kontroversi soal transparansi dan moralitas menjadi sorotan utama masyarakat luas.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok