Repelita, Jakarta - Fenomena meningkatnya pekerja migran Indonesia (PMI) yang terjerat dalam praktik ilegal di luar negeri dinilai sebagai cerminan kegagalan negara dalam menyediakan lapangan kerja.
Pakar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Agus Budiman, menyebutkan bahwa maraknya kasus WNI yang menjadi korban eksploitasi, termasuk dalam praktik judi online di Kamboja, menyoroti keterbatasan lapangan pekerjaan yang layak di dalam negeri.
Agus menegaskan bahwa banyak warga Indonesia yang mencari nafkah di luar negeri karena kondisi ini, meskipun harus menghadapi risiko besar, termasuk terlibat dalam jaringan kejahatan lintas negara.
“Kurangnya informasi dan pemahaman tentang risiko pekerjaan di luar negeri juga turut memperburuk situasi ini. Negara tidak cukup hanya memulangkan mereka. Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan PMI dan kebijakan ketenagakerjaan nasional,” kata Agus Budiman, Sabtu (19/4/2025).
Sebelumnya, publik dikejutkan dengan laporan sejumlah PMI yang bekerja secara ilegal di Kamboja dan terlibat dalam praktik judi online serta penipuan berbasis digital. Pemerintah sempat kesulitan memberikan perlindungan karena status hukum para pekerja tersebut tidak resmi.
Agus juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja. Ia menyebut bahwa banyak agen tidak resmi yang masih beroperasi dan menjanjikan pekerjaan yang ternyata palsu atau berbahaya.
“Ironisnya, kita membiarkan anak-anak bangsa menjadi korban kejahatan transnasional karena tidak ada ruang kerja yang tersedia di Tanah Air,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya langkah strategis jangka panjang dengan melakukan investasi serius pada pengembangan ekonomi lokal, pelatihan vokasi, dan pembangunan sektor industri berbasis kerakyatan agar masyarakat tidak terpaksa bekerja ke luar negeri secara ilegal.
“Kalau tidak ada perubahan fundamental, cerita PMI menjadi korban eksploitasi akan terus berulang,” tegasnya.
Sementara itu, laporan dari LSM Migrant Watch Asia mengungkap bahwa banyak pekerja migran direkrut oleh agen tidak resmi dengan janji pekerjaan di sektor jasa atau teknologi.
Namun kenyataannya, mereka justru dipaksa bekerja di perusahaan yang menjalankan aktivitas ilegal, seperti judi online, penipuan daring, bahkan perdagangan manusia. Beberapa di antaranya disekap, disiksa, dan tidak dibayar sesuai janji.
Meningkatnya tren keberangkatan nonprosedural ke Kamboja selama dua tahun terakhir pun dinilai selaras dengan tingginya angka pengangguran dalam negeri, khususnya di kalangan usia produktif. Situasi ini membuat banyak warga Indonesia tergoda oleh iming-iming pekerjaan di luar negeri yang ternyata penuh risiko. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok