Repelita Bandung - M Rizal Fadillah mengemukakan konsep "negara oknum" sebagai respons terhadap perilaku pejabat dan aparat yang tidak konsisten atau bahkan melakukan penyimpangan. Istilah "oknum" sering digunakan untuk menggambarkan individu yang berperilaku buruk, namun memberikan kesan bahwa orang-orang baik masih mendominasi lingkungan tersebut, kecuali bagi mereka yang disebut sebagai oknum.
Menurut M Rizal Fadillah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oknum memiliki tiga arti, yakni pertama, penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; kedua, orang perseorangan; dan ketiga, orang atau anasir yang memiliki konotasi buruk. Dalam konteks ini, sebutan "oknum" lebih sering digunakan untuk menggambarkan perilaku yang tidak baik.
Fadillah menjelaskan bahwa fungsi dari sebutan "oknum" adalah untuk melindungi institusi atau menutupi nama-nama individu yang melakukan penyimpangan dalam suatu lembaga. Sebutan ini biasanya muncul dalam ranah penegakan hukum, seperti oknum polisi, jaksa, hakim, serta anggota TNI dan pengacara. Namun, sebutan "oknum" hampir tidak terdengar dalam kalangan pedagang, petani, atau guru, yang menunjukkan bahwa penyimpangan lebih sering terjadi di sektor penegakan hukum, di mana ada unsur kekuasaan dan pemaksaan yang memengaruhi perilaku.
Lebih lanjut, M Rizal Fadillah menyoroti efek negatif dari penyebutan oknum tersebut, yakni menciptakan kesan bahwa institusi yang terlibat bersih dan tidak perlu dikoreksi. Dalam pandangan ini, keburukan hanya dianggap berasal dari individu-individu yang disebut oknum, bukan dari sistem secara keseluruhan. Hal ini menyebabkan negara atau pemerintahan yang gagal, bobrok, atau bahkan korup, seolah tidak bisa disalahkan karena hanya individu yang bersalah.
Fadillah mengingatkan bahwa pada kenyataannya, banyak negara atau pemerintahan yang berperilaku salah dan melakukan penindasan. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa penggunaan istilah "oknum" tidak lagi tepat dan harus diganti dengan penyebutan langsung terhadap individu yang terlibat, tanpa melindungi institusi mereka.
Contohnya, Fadillah menegaskan bahwa jika perampokan aset negara terjadi, seharusnya tidak perlu lagi menyebut "oknum presiden," melainkan langsung menyebut nama Presiden Jokowi. Demikian pula dengan beberapa menteri yang terlibat dalam kebijakan-kebijakan yang diduga merugikan rakyat, seperti Luhut Panjaitan yang dikaitkan dengan hubungan dekat dengan RRC. Fadillah juga mengkritik perampasan tanah negara di PIK-2, yang menurutnya melibatkan orang-orang yang harus disebut secara terang-terangan, seperti Aguan, tanpa menggunakan istilah "oknum oligarki."
M Rizal Fadillah menekankan bahwa Indonesia saat ini dikuasai oleh para penjahat yang menjalankan kebijakan-kebijakan merugikan rakyat. Oleh karena itu, untuk melakukan pembenahan negara, para penjahat yang terlibat dalam pemerintahan harus segera ditangkap dan diadili. Fadillah menyebut nama-nama seperti Jokowi, Aguan, Luhut, Tito, dan orang-orang dalam lingkaran dalam rezim Jokowi sebagai bagian dari kelompok yang harus dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.
Negara oknum, menurut Fadillah, adalah negara dengan pemerintahan yang zalim, perampok, dan penindas, seperti yang terjadi pada pemerintahan Jokowi saat ini. Oleh karena itu, ia menyerukan untuk membasmi rezim ini dan melakukan perubahan yang lebih baik demi rakyat Indonesia.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok