
Kontroversi Tembok PIK 2, Kritik terhadap Kebijakan Diskriminatif
Tembok Besar China atau Great Wall of China merupakan salah satu keajaiban dunia yang dibangun pada masa Dinasti Ming. Tembok ini berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan Mongol serta pengendalian perbatasan dan imigrasi. Dengan panjang mencapai 13.171 mil, Changcheng atau tembok panjang ini kini menjadi destinasi wisata ikonik yang menarik perhatian dunia.
Di Indonesia, sebuah proyek besar di kawasan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) Tangerang menuai polemik serupa. Kawasan ini disebut-sebut menciptakan "tembok pemisah" yang membatasi kompleks perumahan mewah dan kawasan wisata dari masyarakat di sekitarnya.
PIK 2 dimiliki oleh Sugianto Kusuma alias Aguan, seorang konglomerat yang dikenal sebagai salah satu "naga" penentu ekonomi Indonesia. Proyek ini bahkan mendapatkan status sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), sebuah kebijakan yang menuai kritik karena dinilai menyakiti kepentingan rakyat.
Menurut M Rizal Fadillah, simbol tembok pembatas di PIK 2 mengingatkan pada Tembok Besar China. Ada kesan pertahanan, keangkeran, dan eksklusivitas yang kuat. PIK 2 disebut mirip seperti negara dalam negara, dengan dominasi budaya tertentu.
Sorotan semakin tajam ketika simbol naga besar yang berdiri di gerbang PIK 2 dianggap mengesampingkan lambang negara, Garuda. Kritik terhadap simbolisme ini pun mengundang reaksi keras dari berbagai pihak.
Kasus ini semakin memanas setelah tokoh masyarakat, Said Didu, dilaporkan ke kepolisian oleh seorang kepala desa di Tangerang. Laporan ini terkait kritik Said terhadap proyek PIK 2. Polemik ini juga membuka kembali isu dugaan suap senilai Rp50 miliar dalam program reklamasi yang melibatkan Aguan dan sejumlah anggota DPR.
M Rizal Fadillah menyebut, sejarah Tembok Besar China mencatat bahwa pertahanan ini pernah runtuh oleh serangan Mongol di bawah Genghis Khan. Dinasti Song yang berkuasa saat itu dilanda konflik internal dan praktik korupsi yang melemahkan kekuatan pertahanan.
Tembok PIK 2, lanjut Rizal, menjadi simbol eksklusivitas dan kesenjangan sosial yang nyata. Kawasan ini dianggap menciptakan "kota terlarang" yang memisahkan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi. Selain itu, kebijakan pemerintah yang memberikan hak istimewa pada pengusaha tertentu juga dipandang sebagai bentuk diskriminasi terhadap masyarakat pribumi.
Rizal menilai, pembauran sosial yang diharapkan pemerintah justru terhambat oleh kebijakan seperti ini. Ia mengingatkan bahwa kebijakan diskriminatif dapat memicu perlawanan masyarakat.
"Kebijakan seperti ini harus dievaluasi. Jangan sampai rakyat merasa tanah mereka dirampas untuk kepentingan segelintir orang kaya," tulis Rizal.
Ia juga mengingatkan agar pengusaha besar, termasuk Aguan, tidak bertindak layaknya Zionis yang menindas masyarakat setempat. Menurutnya, PIK 2 tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat Indonesia, melainkan hanya menjadi simbol kemewahan yang memisahkan diri dari masyarakat.
Rizal menegaskan, kriminalisasi terhadap Said Didu tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, ia memperingatkan bahwa kasus ini dapat memicu gelombang perlawanan yang lebih besar.
"Diskriminasi ini harus dihentikan sebelum Banten membara," tutupnya.(*)