
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Kebijakan ekonomi dan sosial yang diterapkan oleh Presiden Joko Widodo selama masa jabatannya dinilai sangat merugikan kelompok masyarakat menengah ke bawah. Kebijakan-kebijakan tersebut, menurut Anthony Budiawan, dianggap lalim, jahat, dan kejam.
Pada akhir tahun 2014, harga BBM Premium mengalami kenaikan, meskipun harga minyak dunia turun drastis hingga 50 persen. Di samping itu, subsidi untuk 20 kereta ekonomi juga dihapus pada 1 Januari 2015, yang menyebabkan harga tiket melonjak dua hingga tiga kali lipat.
Anggaran subsidi tersebut dialihkan untuk berbagai proyek yang seringkali terbengkalai atau bahkan dikorupsi, mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar. Sementara itu, Jokowi justru memberikan fasilitas pengampunan pajak kepada orang kaya, yang dikenal sebagai “penjahat pajak.” Program pengampunan pajak ini bahkan diberikan kembali pada 2022, yang dianggap sebagai langkah untuk "melegalisasi pencucian uang."
Menurut Budiawan, tidak ada negara di dunia yang memberikan pengampunan pajak dua kali dalam waktu lima tahun, yaitu pada tahun 2016/2017 dan 2022. Ia menduga bahwa uang kotor hasil korupsi selama pandemi COVID-19, termasuk proyek APBN, tambang ilegal, dan judi online, mungkin akan dicuci lagi melalui kebijakan ini.
Defisit anggaran APBN pada tahun 2020 dan 2021 mencapai lebih dari Rp1.700 triliun, dengan pengeluaran negara mencapai Rp5.300 triliun. Kebocoran anggaran yang terjadi bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Salah satu contoh korupsi besar adalah proyek BTS Kominfo, di mana proyek senilai Rp10 triliun dikorupsi hingga Rp8 triliun.
Proyek lain yang juga menuai kontroversi adalah Kartu Prakerja, penanganan COVID-19, pemulihan ekonomi nasional (PC PEN), dan berbagai proyek infrastruktur, termasuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Pada tahun 2020 saja, anggaran untuk PC PEN mencapai Rp695 triliun.
Pada tahun 2022, kebijakan Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani semakin kontroversial dengan kenaikan pajak PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, serta kenaikan harga BBM pada 3 September 2022. Harga Pertalite naik dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, sementara harga Solar naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter.
Pemerintah beralasan bahwa kenaikan harga BBM dilakukan karena subsidi yang membengkak hingga mencapai Rp502 triliun. Namun, Budiawan menilai alasan tersebut tidak berdasar, mengingat pendapatan negara pada 2022 naik Rp623 triliun dibandingkan tahun sebelumnya, dan defisit anggaran yang diperkirakan mencapai Rp868 triliun hanya terpakai Rp464 triliun. Ini menunjukkan adanya ruang fiskal yang besar, tetapi tidak digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Sebagai dampaknya, tingkat kemiskinan di Indonesia meningkat pada September 2022 dibandingkan dengan Maret 2022. Selain itu, pada Januari 2025, PPN diperkirakan akan naik lagi menjadi 12 persen, sementara DPR sedang merancang kembali program pengampunan pajak.
Budiawan menilai kebijakan-kebijakan tersebut semakin menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi surga bagi para koruptor dan penjahat aktivitas ilegal. Pengampunan pajak yang diberikan dua kali dalam waktu lima tahun menjadi bukti bahwa negara ini memfasilitasi pencucian uang ilegal, yang tidak terjadi di negara manapun di dunia.
"Selamat datang di negeri para bandit," tutup Budiawan.(*)

