Bantuan sembako yang diberikan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kepada korban banjir di Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur, kini menjadi perbincangan publik. Tas biru bertuliskan “Bantuan Wapres Gibran” dengan gambar Istana Wakil Presiden menimbulkan beragam reaksi.
Sementara beberapa pihak menganggapnya sebagai tindakan mulia, tak sedikit yang melihatnya sebagai bagian dari strategi pencitraan politik menjelang Pilpres 2029. Dalam berbagai unggahan di media sosial, tas bantuan yang mencantumkan nama Wakil Presiden ini memicu perdebatan sengit.
Beberapa tokoh, seperti pengamat media sosial Jhon Sitorus, tokoh NU Gus Umar, dan pendakwah Hilmi Firdausi, menilai langkah ini kontroversial dan mempertanyakan etika penggunaan dana negara untuk kepentingan pribadi pejabat. Jhon Sitorus menilai langkah Gibran lebih mengarah pada upaya kampanye dini untuk Pilpres 2029, ketimbang semata-mata membantu korban banjir.
Jhon mengaitkan tindakan Gibran dengan kebiasaan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, yang pada masa pemerintahannya sering membagikan sembako dengan tas berwarna merah dan putih bertuliskan “Bantuan Presiden”. Menurut Jhon, meski keduanya menggunakan dana APBN, tujuan Gibran lebih terfokus pada pencitraan pribadi.
Gus Umar juga mempertanyakan etika penggunaan nama pribadi pejabat untuk bantuan pemerintah. Ia mencatat bahwa selama lima tahun Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjabat, tidak ada bantuan yang menggunakan nama pribadinya.
Pendakwah Hilmi Firdausi mengangkat isu serupa, mempertanyakan dasar hukum yang membolehkan penggunaan nama pribadi pejabat dalam bantuan yang bersumber dari dana negara. Ia juga mempertanyakan apakah ada peraturan yang mengatur hal tersebut.
Bantuan yang diberikan oleh Gibran berisi bahan pokok seperti beras, minyak goreng, teh, gula, dan biskuit. Bantuan tersebut sangat dibutuhkan oleh warga di kawasan Kebon Pala yang terendam banjir akibat luapan Kali Ciliwung. Ketinggian air yang mencapai 2 meter menyebabkan banyak rumah tergenang.
(*)