Repelita Jakarta - Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mengungkapkan dugaan adanya transaksi gelap di balik proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.
Ia menyampaikan analisis tersebut dalam program Rakyat Bersuara bertajuk Ada Korupsi Triliunan di Kereta Cepat? yang tayang pada Selasa 21 Oktober 2025.
Menurut Ubed, dugaan transaksi gelap dapat dilihat dari dua indikator utama yang menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam skema proyek.
Indikator pertama adalah perubahan kesepakatan antara Indonesia dan China terkait skema pembiayaan proyek.
Semula, proyek tersebut diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 dengan skema business to business.
Namun, skema tersebut berubah menjadi business to government berdasarkan peraturan terbaru yang memungkinkan negara memberikan dana melalui penanaman modal dalam negeri.
Ubed menilai bahwa perubahan tersebut menunjukkan keterlibatan langsung negara dan penggunaan APBN dalam proyek yang sebelumnya dijanjikan tanpa intervensi pemerintah.
Ia juga menyoroti buku resmi yang diterbitkan PT KAI, yang menyatakan bahwa proyek Whoosh tidak akan melibatkan jaminan dari pemerintah maupun APBN.
Namun, kenyataannya skema tersebut berubah, sehingga menimbulkan tanda tanya besar mengenai alasan di balik pergeseran kebijakan.
Indikator kedua yang disampaikan Ubed adalah perubahan mitra kerja sama dari Jepang ke China.
Ia menjelaskan bahwa Jepang sempat melakukan studi kelayakan dengan tawaran bunga pinjaman sebesar 0,1 persen.
Namun, pemerintah kemudian memilih China sebagai mitra dengan bunga pinjaman awal 2 persen yang kemudian meningkat menjadi 3,4 persen.
Ubed menyebut bahwa perubahan tersebut sangat mencolok dan menimbulkan pertanyaan mengenai alasan pemilihan mitra dengan beban bunga yang lebih tinggi.
Ia mempertanyakan apakah terdapat transaksi besar antara China Development Bank dan pemerintah Indonesia yang menyebabkan pergeseran arah proyek.
Menurutnya, dua indikator tersebut cukup kuat untuk membuka dugaan adanya transaksi yang tidak transparan dalam proyek kereta cepat.
Menanggapi hal itu, Ketua Rampai Nusantara, Mardiansyah Semar, menyarankan agar Ubedilah mengumpulkan data dan melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ia menegaskan bahwa jika memang terdapat indikasi pelanggaran, maka harus ditindaklanjuti secara hukum dan tidak hanya menjadi wacana publik.
Mardiansyah menyatakan bahwa langkah tersebut akan memperjelas apakah kebijakan yang diambil dalam proyek tersebut memang bermasalah atau tidak.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

