
Repelita Jakarta - Menjelang seratus hari pemerintahan Prabowo-Gibran, sejumlah lembaga survei sempat menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap duet pemimpin baru itu. Namun setelah periode tersebut, hasil survei serupa tidak lagi muncul di ruang publik.
Peneliti ISEAS Yusof-Ishak Institute, Made Supriatma, menyoroti kondisi ini melalui unggahan di media sosial X pada Kamis (16/10/2025).
“Seingat saya, sudah berapa bulan berlalu tanpa survei. Lembaga-lembaga survei yang kredibel tidak lagi melakukan survei, khususnya tentang kepuasan publik terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran,” tulis Made di akun resminya, @MadeSupriatma.
Kantor berita Bloomberg melaporkan bahwa harian Kompas, yang selama ini dikenal memiliki lembaga survei kredibel, juga tidak lagi mengumumkan survei mengenai kepuasan publik terhadap pemerintahan baru. Namun, Kompas sempat melakukan jajak pendapat pada 11–14 Agustus, dan hasilnya diumumkan pada 8 September 2025.
Meskipun tidak menanyakan secara langsung tingkat kepuasan masyarakat, survei Kompas itu menyertakan pertanyaan tentang perlunya keberadaan kekuatan oposisi untuk menyeimbangkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Hasilnya, sebanyak 58,8 persen responden menyatakan bahwa oposisi tetap dibutuhkan.
Menurut Made, angka tersebut cukup signifikan dan bisa menjadi tanda bahwa dukungan publik terhadap pemerintah tidak setinggi yang diasumsikan. Ia menambahkan, selain melalui survei, ketidakpuasan publik juga tercermin dari meningkatnya aksi-aksi protes yang terjadi di berbagai daerah.
Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan adanya 228 aksi unjuk rasa di 35 provinsi antara 25 Agustus hingga 7 September 2025. Dari jumlah itu, 23 provinsi mengalami insiden kekerasan dan kerusuhan.
Kerugian material di Jakarta ditaksir mencapai Rp50 miliar. Sejumlah fasilitas publik, terutama gedung DPRD di daerah, mengalami kerusakan atau dibakar. Tercatat 10 orang meninggal dunia di seluruh Indonesia, dan lebih dari seribu orang ditahan, sebagian besar akibat aksi demonstrasi yang berlangsung damai.
“Kalau dilihat dari cakupannya, aksi-aksi unjuk rasa ini sangat luas. Ini juga bisa menjadi indikator ketidakpuasan kepada pemerintah,” kata Made.
Lebih lanjut, Made mengungkap adanya desas-desus yang menyebut bahwa tingkat persetujuan publik terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran mengalami penurunan drastis. Ia menyinggung laporan majalah Tempo yang pernah menulis tentang lembaga survei yang mencatat turunnya tingkat kepuasan dari 79,3 persen pada Januari menjadi 58,9 persen. Namun, lembaga survei tersebut membantah pernah merilis hasil itu.
“Melihat hasil survei dan situasi sosial sekarang, rasanya janggal jika ada lembaga yang menyebut kepuasan publik terhadap Presiden Prabowo mencapai 83,5 persen,” ujar Made.
Ia juga menilai aneh jika alasan utama tingginya kepuasan publik dikaitkan dengan kinerja Kementerian ESDM yang dipimpin Bahlil Lahadalia, terutama karena program biodiesel B40–B45 dan revitalisasi sumur minyak tua.
Made menyinggung bahwa pernyataan Bahlil tentang rencana mencampur Pertalite dengan 20 persen etanol sempat menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Reaksi publik wajar karena kebijakan itu berpotensi memerlukan penyesuaian besar pada mesin kendaraan.
“Survei itu instrumen untuk membaca suasana hati publik, tapi juga bisa membentuk opini. Ia bukan hal netral. Karena itu, wajar bila publik mempertanyakan hasil survei yang tampak tidak masuk akal,” tulis Made menutup ulasannya.
“Apakah masuk akal bahwa 83,5 persen orang puas dengan kebijakan pemerintahan Prabowo di tengah inflasi pangan di atas lima persen, layanan publik yang memburuk, korupsi yang makin merajalela, serta aparat yang terlalu mudah menggunakan kekerasan?” tutupnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

