Repelita Beijing - Pemerintah China menyatakan kesiapannya untuk membantu Indonesia mengatasi tekanan keuangan yang tengah membelit proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh, yang total biayanya telah mencapai US$7,27 miliar atau sekitar Rp117,3 triliun.
Langkah ini menjadi sinyal kuat dari Beijing untuk menjaga kelangsungan proyek unggulan dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) di kawasan Asia Tenggara.
Dalam konferensi pers yang digelar di Beijing, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menyampaikan bahwa negaranya siap bekerja sama dengan Indonesia guna memastikan kelangsungan operasional proyek tersebut.
China siap bekerja sama dengan Indonesia untuk memastikan pengoperasian kereta cepat Jakarta-Bandung berjalan optimal. Proyek ini diharapkan terus mendorong pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia, serta memperkuat konektivitas kawasan.
Pernyataan tersebut disampaikan Guo pada Minggu, 26 Oktober 2025, dan dikutip oleh media Caliber.az.
Tawaran kerja sama ini mempertegas komitmen China dalam menjaga reputasi proyek strategis BRI di Asia Tenggara.
Pemerintah Indonesia melalui Danantara disebut tengah menyusun langkah restrukturisasi utang Whoosh yang ditargetkan rampung sebelum akhir tahun ini.
Sebagai informasi, proyek kereta cepat Whoosh dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), perusahaan patungan antara konsorsium BUMN Indonesia Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang memegang 60% saham, dan mitra dari China sebesar 40%.
Awalnya, proyek ini dianggarkan sebesar US$6,02 miliar atau sekitar Rp97 triliun, dengan sebagian besar pendanaan berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) yang mengenakan bunga tahunan 2%.
Namun, terjadi pembengkakan biaya sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp19,3 triliun, yang membuat CDB menyetujui pinjaman tambahan dengan bunga lebih tinggi, yakni 3,4%.
Meskipun telah beroperasi penuh sejak Oktober 2023, performa komersial Whoosh belum memenuhi ekspektasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sepanjang 2024, jumlah penumpang hanya mencapai 6,06 juta, jauh di bawah target pemerintah yang memproyeksikan 31 juta penumpang per tahun.
Akibatnya, PSBI mencatat kerugian sebesar Rp4,19 triliun atau sekitar US$251,8 juta pada tahun 2024, serta tambahan kerugian Rp1,63 triliun atau sekitar US$100,8 juta pada semester pertama 2025.
Situasi ini memunculkan desakan agar pemerintah mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan proyek tersebut.
Namun, Ketua Komite Investasi Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sekaligus ekonom senior Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa dana publik tidak akan digunakan untuk menutup utang proyek.
Kami tidak akan menggunakan anggaran negara untuk membayar utang proyek ini. Danantara sebagai dana kekayaan negara yang mengelola aset BUMN harus mencari solusi restrukturisasi yang tepat. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

