Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Penangkapan Mahasiswi ITB karena Meme AI Prabowo-Jokowi Cerminkan Wajah Suram Demokrasi

 

Repelita Jakarta - Penangkapan mahasiswi Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membuat dan menyebarkan meme menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI), menampilkan gambar Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 Joko Widodo tengah berciuman, memunculkan kekhawatiran publik tentang batas-batas kebebasan berekspresi serta arah penegakan hukum di Indonesia.

Dalam era digital, meme telah berkembang menjadi medium ekspresi yang memuat kritik sosial maupun pandangan politik.

Selama tidak memuat unsur fitnah, ujaran kebencian, atau provokasi kekerasan, bentuk ekspresi ini seharusnya masuk dalam ranah kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.

Tindakan hukum terhadap mahasiswi ini justru menimbulkan kesan bahwa negara mulai kehilangan toleransi terhadap bentuk-bentuk kritik kreatif dari masyarakat, khususnya dari kalangan muda dan akademik.

Padahal, kreativitas seperti ini seharusnya menjadi stimulus bagi pemerintah untuk melakukan refleksi, bukan represif.

Meme tersebut bisa dipahami sebagai bentuk satire terhadap promosi kecerdasan buatan yang begitu masif di ruang publik, salah satunya oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Dalam sudut pandang ini, ekspresi tersebut menunjukkan kegelisahan terhadap glorifikasi teknologi tanpa disertai etika dan refleksi sosial yang memadai.

Gembong Primadjaya, aktivis demokrasi sekaligus pengamat media digital, menilai bahwa penggunaan hukum terhadap karya seni semacam itu berisiko menekan ruang kebebasan sipil.

Ia menekankan pentingnya pemahaman konteks, bukan hanya menilai karya berdasarkan visual semata.

Sayangnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maupun pasal pencemaran nama baik dalam KUHP kerap digunakan secara fleksibel namun represif.

Hal ini membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh aparat hukum, terutama terhadap warga sipil dengan posisi tawar yang lemah.

Dalam kasus ini, penting bagi aparat penegak hukum untuk menjelaskan secara transparan alasan penangkapan, proses hukum yang dijalankan, serta menjamin bahwa penegakan hukum tidak digunakan sebagai alat pembungkam kritik.

Negara tidak cukup hanya menjamin kebebasan berekspresi di atas kertas, tetapi juga harus membuktikannya dalam praktik nyata.

Ekspresi seni tidak bisa serta merta dinilai menggunakan pendekatan hukum normatif semata.

Konteks penciptaan, maksud, serta pesan yang ingin disampaikan harus menjadi bagian dari pertimbangan penegakan hukum.

Demokrasi yang sehat meniscayakan ruang ekspresi yang luas, termasuk untuk kritik dan satire.

Sikap negara dalam merespons ekspresi semacam ini akan menentukan arah masa depan kebebasan sipil di Indonesia.

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.id | All Right Reserved