Repelita Jakarta - Nama Dr Tifauzia Tyassuma atau yang dikenal sebagai Dokter Tifa kembali mencuat di tengah kontroversi seputar dugaan ijazah palsu milik Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dokter Tifa dilaporkan ke polisi oleh kelompok Relawan Pemuda Patriot Nusantara.
Laporan tersebut disampaikan ke Polres Metro Jakarta Pusat pada Rabu 23 April 2025.
Ia dilaporkan bersama tiga tokoh lainnya, yaitu Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Rizal Fadillah.
Mereka diduga melakukan pelanggaran berdasarkan Pasal 160 KUHP terkait dugaan penghasutan di muka umum.
Dalam pernyataannya sebelumnya, Dokter Tifa menuding bahwa ijazah milik Jokowi dari Universitas Gadjah Mada adalah tidak asli.
Ia juga menegaskan bahwa Jokowi tidak pernah kuliah di kampus tersebut.
Tak hanya itu, ia turut menyampaikan keraguan terhadap latar belakang pendidikan Gibran.
Menurutnya, Gibran hanya memiliki sertifikat kursus dari Insearch UTS Australia yang setara program D1.
Pernyataan itu memicu kontroversi di tengah publik.
Dokter Tifa selama ini dikenal sebagai pribadi yang aktif dan vokal menyuarakan opini kritis di media sosial.
Ia adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Ia juga menempuh pendidikan tambahan di luar negeri dan aktif di berbagai kegiatan sosial.
Menanggapi laporan tersebut, Dokter Tifa tak tinggal diam.
Melalui akun media sosialnya, ia menyebut bahwa kriminalisasi terhadap akademisi justru mencederai proses pencarian kebenaran ilmiah.
Ia juga mengklaim bahwa kasus ijazah Jokowi telah masuk ke ranah internasional.
Ia menyebut kasus itu telah dibawa ke lembaga seperti OCCRP dan Mahkamah Pidana Internasional.
"Apakah Jokowi siap apabila kasus ijazah Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut dibawa ke Digital Forensic Internasional dan berlanjut ke Amnesty International?" tulisnya di akun X.
Kasus ini menambah daftar panjang perdebatan publik terkait keterbukaan data pendidikan pejabat negara.
Banyak pihak menilai bahwa isu ini semestinya dapat dijawab secara ilmiah oleh lembaga pendidikan dan negara.
Namun, ketika perdebatan itu justru berujung laporan hukum, muncul kekhawatiran soal kebebasan berekspresi.
Proses hukum terhadap laporan ini akan menjadi sorotan publik dalam waktu dekat.
Masyarakat berharap agar proses hukum bisa berjalan transparan dan tidak menimbulkan preseden buruk bagi demokrasi.
Kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya kejelasan dan transparansi dalam rekam jejak pemimpin nasional.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok