
Repelita Jakarta - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti sejumlah kasus korupsi di daerah sebagai hambatan serius dalam pembangunan nasional, termasuk perkara yang melibatkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Sorong, Papua Barat Daya, dan Kepulauan Meranti, Riau.
Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 yang digelar di Kantor Kementerian Dalam Negeri pada Senin, 20 Oktober 2025, Purbaya menyampaikan bahwa data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan masih maraknya praktik korupsi di daerah dalam tiga tahun terakhir.
Ia menyebut kasus audit BPK di Sorong dan Meranti, jual beli jabatan di Bekasi, serta proyek fiktif BUMD di Sumatera Selatan sebagai bukti bahwa reformasi tata kelola belum tuntas.
Menurut Purbaya, praktik korupsi di tingkat daerah menyebabkan kebocoran anggaran dan menghambat pelaksanaan program pembangunan. Ia menekankan perlunya pembenahan sistem pengawasan dan akuntabilitas agar dana publik benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Kasus di Kepulauan Meranti bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 7 April 2023. Dalam operasi tersebut, Bupati Kepulauan Meranti saat itu, Muhammad Adil, ditangkap karena diduga menyuap auditor BPK agar laporan keuangan pemerintah daerah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
KPK mengungkap bahwa Adil bersama Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Fitri, memberikan uang sekitar Rp 1,1 miliar kepada M Fahmi Aressa, Ketua Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Riau.
Tujuannya adalah agar hasil pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti tahun 2022 dinilai baik dan layak mendapat opini WTP.
Dalam proses hukum, Muhammad Adil dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara, denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 17 miliar. Sementara itu, M Fahmi Aressa divonis empat tahun tiga bulan penjara karena terbukti menerima suap.
Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Mantan Penjabat Bupati Sorong, Yan Piet Moso, bersama Kepala BPKAD Efer Segidifat dan staf BPKAD Maniel Syafle, didakwa memberikan uang sebesar Rp 450 juta kepada tim pemeriksa BPK RI Perwakilan Papua Barat.
Uang tersebut diberikan untuk mengondisikan hasil pemeriksaan keuangan Kabupaten Sorong tahun anggaran 2022–2023. Jaksa Penuntut Umum menilai perbuatan para terdakwa melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Kasus ini bermula dari pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK di Papua Barat Daya pada Agustus 2023. Dalam prosesnya, Efer dan Maniel menjalin komunikasi dengan dua pihak dari BPK bernama Abu dan David, yang disebut sebagai perpanjangan tangan dari Kepala BPK Perwakilan Papua Barat Daya, Patrice Lumumba Sihombing.
Menurut keterangan Ketua KPK saat itu, Firli Bahuri, komunikasi tersebut berujung pada kesepakatan untuk menghilangkan temuan dalam laporan pemeriksaan. Uang diberikan sebagai imbalan agar hasil audit tidak mencantumkan pelanggaran atau penyimpangan.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Manokwari pada 23 April 2024 menjatuhkan hukuman satu tahun sepuluh bulan penjara kepada Yan Piet Moso. Sementara itu, Efer Segidifat dan Maniel Syafle masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider enam bulan kurungan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

