Breaking Posts

10/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Marwan Batubara Tegaskan Uang Negara Tidak Boleh Dipakai untuk Membayar Utang Bermasalah Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Jokowi Bungkam Soal Utang Rp116 Triliun Kereta Cepat, Dulu Kebanggan dan  Jamin Tak Sentuh APBN - Tribunjambi.com

Repelita Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) yang juga anggota Petisi-100, Marwan Batubara, menyoroti tajam polemik dan dugaan skandal besar dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

Dalam pernyataannya yang dirilis di Jakarta pada 22 Oktober 2025, Marwan menyebut proyek tersebut sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta menilai bahwa utang besar yang timbul dari proyek KCJB merupakan utang najis atau odious debt yang tidak seharusnya dibayar menggunakan uang negara.

Marwan menjelaskan bahwa sejak awal proyek KCJB sudah bermasalah, baik dari segi moral hazard, pelanggaran hukum, hingga penyimpangan dalam proses tender. Menurutnya, proyek yang seharusnya dijalankan secara bisnis antarperusahaan malah berubah menjadi beban negara akibat campur tangan pemerintah dan pelanggaran terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ia menegaskan, salah satu persoalan utama adalah siapa yang harus menanggung beban utang jumbo proyek tersebut, apakah APBN, Danantara, atau BUMN. Marwan menilai, karena proyek ini sarat dugaan KKN, maka negara dalam bentuk apa pun tidak boleh ikut menanggung beban utangnya. “APBN, Danantara, maupun BUMN harus bebas dari tanggungan utang tersebut,” tegasnya.

Marwan menguraikan bahwa PT Kereta Api Indonesia (KAI) bertindak sebagai pimpinan konsorsium Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), yang beranggotakan Wijaya Karya, Jasa Marga, dan Perkebunan Nusantara. PSBI memegang 60 persen saham di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sedangkan sisanya sebesar 40 persen dimiliki Beijing Yawan HSR Co. Ltd dari Tiongkok. Dana investasi utama berasal dari China Development Bank (CDB) sebesar 7,27 miliar dolar AS.

Menurut Marwan, sejak awal proyek ini mengidap berbagai penyimpangan serius. Ia menuding mantan Presiden Joko Widodo sebagai sosok yang sangat dominan dan otoriter dalam memaksakan proyek KCJB tanpa mempertimbangkan masukan dari kementerian terkait. Marwan juga menyebut, pejabat yang berbeda pandangan dengan Jokowi justru disingkirkan, seperti mantan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan.

Lebih lanjut, Marwan menilai bahwa DPR saat itu turut diseret untuk menyetujui proyek tersebut, entah karena terpaksa, tersandera, atau ada dugaan kolusi. Ia menyebut berbagai regulasi dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik telah diabaikan demi meloloskan proyek ini.

Dalam penjelasannya, Marwan menyebut sejumlah pelanggaran hukum yang terjadi dalam proyek KCJB.

Pertama, pemerintah memberikan jaminan dan pembagian risiko kepada Tiongkok sebagai pemberi pinjaman, padahal hal itu melanggar Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 dan bertentangan dengan komitmen awal.

Kedua, Tiongkok meminta hak eksklusif jalur KCJB, yang jelas melanggar prinsip non-eksklusif dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli.

Ketiga, proyek ini dipaksakan untuk groundbreaking meski dokumen perizinan belum lengkap, melanggar Pasal 188 UU Nomor 23 Tahun 2007.

Keempat, Marwan menyoroti adanya dugaan persekongkolan jahat dalam proses tender yang melibatkan perusahaan asal Tiongkok, CRRC Sifang Indonesia. Hal ini dinilainya melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Kelima, Presiden Jokowi menurutnya telah mengingkari janji awal bahwa proyek ini tidak akan menggunakan APBN, tetapi ternyata pemerintah tetap menyuntikkan dana sebesar Rp4,1 triliun melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) ke KAI tanpa proses persetujuan DPR yang transparan.

Keenam, Marwan mengungkap dugaan manipulasi dalam proses tender yang memperlihatkan bahwa penawaran Tiongkok sebenarnya tidak lebih murah dibanding Jepang. Ia menyebut tim tender Indonesia hanya membandingkan nilai proyek tanpa memasukkan beban bunga pinjaman. “Kalau beban bunga diperhitungkan, sebenarnya tawaran Jepang justru lebih murah,” ungkapnya.

Ketujuh, Marwan menilai adanya mark-up luar biasa besar. Berdasarkan perhitungannya, biaya proyek KCJB mencapai 56 juta dolar AS per kilometer, jauh di atas rata-rata proyek serupa di dunia yang hanya berkisar 17 hingga 30 juta dolar AS per kilometer. Menurutnya, hal ini menjadi bukti kuat bahwa proyek KCJB telah menjadi ladang korupsi sistemik.

Marwan menegaskan bahwa proyek ini tidak hanya mengandung unsur pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan kejahatan moral karena membebani rakyat dengan utang besar untuk proyek yang tidak esensial. Ia menilai banyak proyek di era Jokowi lebih berorientasi pada pencitraan dan mercusuar politik ketimbang kebutuhan nyata rakyat.

“Proyek KCJB hanyalah alat pencitraan. Namun di baliknya, terdapat perburuan rente melalui mark-up dan penyalahgunaan kekuasaan,” kata Marwan. Ia juga menyebut bahwa praktik seperti ini menjadi ciri dari kebijakan yang hanya berorientasi pada besarnya proyek, bukan manfaatnya bagi masyarakat.

Marwan menggolongkan utang proyek KCJB sebagai odious debt atau utang najis. Ia menegaskan, “Utang najis adalah utang yang lahir dari praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga secara moral dan hukum tidak wajib dibayar oleh pemerintahan berikutnya.”

Marwan juga mengaitkan proyek ini dengan warisan utang besar era Jokowi yang kini mencapai Rp8.502,69 triliun. Ia menilai sebagian dari utang tersebut tergolong utang najis dan tidak seharusnya dibebankan kepada pemerintahan Prabowo.

Terkait sikap pejabat negara, Marwan menyebut banyak dari mereka tidak fokus pada dugaan KKN yang melahirkan utang KCJB, tetapi justru sibuk membahas mekanisme pembayarannya. Ia mengapresiasi sikap Menkeu Purbaya yang menolak penggunaan APBN, namun mengkritik keras posisi CEO Danantara Rosan Roeslani dan COO Dony Oskaria yang masih membuka peluang penggunaan dana negara untuk menalangi utang tersebut.

Marwan juga menyoroti pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut proyek KCJB sebagai “barang busuk”. Menurutnya, pernyataan itu ironis karena Luhut sebelumnya ditunjuk Jokowi sebagai Ketua Komite Proyek KCJB berdasarkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021. “Kalau memang proyek ini busuk, mengapa tidak ditolak sejak awal ketika Luhut justru punya kuasa penuh?” ujarnya.

Ia menuding, Luhut dan Jokowi adalah sosok sentral dalam skandal KCJB yang harus dimintai pertanggungjawaban hukum. Marwan menyatakan, restrukturisasi utang hingga 60 tahun yang disebut-sebut disepakati Luhut dengan pihak Tiongkok hanyalah cara untuk mengamankan kepentingan politik dan menutupi dosa masa lalu.

Menurutnya, masalah utama bukanlah bagaimana membayar utang, tetapi bagaimana menegakkan hukum atas dugaan korupsi yang menyebabkan utang tersebut terjadi. “Kita tidak boleh menanggung utang yang lahir dari kejahatan,” tegas Marwan.

Ia menyerukan agar Komisi Pemberantasan Korupsi segera bertindak proaktif mengusut skandal KCJB tanpa menunggu laporan publik. Selain itu, ia mendesak DPR membentuk panitia khusus untuk membongkar dugaan kejahatan sistemik proyek ini dan meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigatif.

Marwan menilai, langkah-langkah tersebut menjadi ujian bagi pemerintahan Prabowo untuk menunjukkan komitmen nyata dalam pemberantasan korupsi. Ia juga meminta seluruh rakyat menolak restrukturisasi utang KCJB dan menuntut keadilan bagi uang negara yang telah diselewengkan.

“Rakyat tidak boleh menjadi korban dari utang najis warisan rezim sebelumnya. Pemerintahan baru harus berani menolak membayar utang yang lahir dari korupsi,” tutup Marwan Batubara.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.id | All Right Reserved