Repelita Jakarta - Di tengah suasana politik yang penuh hiruk pikuk, masyarakat akan disuguhi tayangan capaian pemerintah di layar bioskop sebelum film utama dimulai.
Layar lebar yang biasanya digunakan untuk menampilkan kisah fiksi atau drama kini berubah menjadi medium pemutaran potongan capaian negara.
Adegan demi adegan dikemas dengan gaya sinematik, menonjolkan infrastruktur baru, program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat, meskipun data keberhasilannya belum banyak terbukti.
Pejabat tampil dengan senyum di depan kamera, grafik dipoles secara visual, sementara penonton tidak punya pilihan selain menonton cuplikan itu.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan karena masyarakat membayar tiket untuk menikmati hiburan, bukan untuk menerima narasi pencapaian pemerintah.
Praktik semacam ini dianggap lebih menyerupai komunikasi politik sepihak, memperlihatkan jarak yang semakin besar antara pemerintah dengan warganya.
Pemerintah seakan berada di puncak Monumen Nasional, menyaksikan kota yang rapi, jalan tol membentang, dan gemerlap lampu malam Jakarta.
Namun dari ketinggian itu mereka tidak mendengar keluhan pedagang kecil yang sepi pembeli, tidak melihat antrean panjang para pencari kerja, serta tidak merasakan beban keluarga akibat harga kebutuhan pokok yang kian meningkat.
Kontras inilah yang memperlihatkan perbedaan antara citra di layar dan kenyataan di lapangan.
Literatur politik mengingatkan, negara modern memang kerap menciptakan jarak dengan rakyatnya.
James Scott menyebut negara cenderung menyederhanakan kerumitan masyarakat menjadi tabel dan statistik, sehingga melahirkan kebutaan pada realitas nyata.
Charles Tilly menilai konsentrasi kekuasaan akan selalu menimbulkan distansi, sementara Jurgen Habermas menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena komunikasi dua arah, bukan hanya saluran pesan sepihak.
Penayangan capaian di bioskop menunjukkan pola propaganda klasik.
Sejarah mencatat hal serupa di Uni Soviet, Nazi Jerman, Italia fasis, hingga India kolonial, di mana film propaganda wajib diputar sebelum film utama.
Pemerintah China dan Korea Utara pun masih menerapkan praktik itu sampai sekarang.
Bioskop, yang mestinya ruang hiburan, akhirnya berubah menjadi medium komunikasi politik satu arah.
Dalam jangka pendek, strategi ini memang dapat menyebarkan pesan pemerintah secara luas.
Tetapi dalam jangka panjang, risiko penolakan publik semakin nyata karena masyarakat merasa dipaksa menjadi penonton pasif.
Contoh lain terlihat di Mesir, Pakistan, dan Turkiye, di mana propaganda visual justru memperlebar jarak pemerintah dengan rakyat.
Penggunaan bioskop untuk menayangkan capaian lebih menekankan legalitas formal ketimbang legitimasi sosial.
Padahal legitimasi sejati lahir dari pengakuan masyarakat, bahwa pemerintah benar-benar hadir dan bekerja untuk mereka.
Pemerintah perlu turun langsung ke lapangan, mendengar aspirasi rakyat di pasar, desa, sekolah, atau pabrik kecil, bukan hanya tampil di layar bioskop.
Sejarah menunjukkan propaganda visual tidak mampu bertahan lama bila realitas sehari-hari masyarakat jauh berbeda dengan narasi yang diproyeksikan.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan bukanlah citra yang dipoles, melainkan kehadiran nyata pemerintah dalam keseharian rakyat.
Bioskop hanyalah simbol kecil dari persoalan besar, yakni jarak antara penguasa dan masyarakat.
Semakin lama jarak ini dipertahankan, semakin besar pula risiko retaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Inilah tantangan yang harus dijawab dengan kebijakan yang benar-benar berpihak kepada rakyat, bukan sekadar tayangan sinematik.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok