Repelita Maluku - Sebagai buntut dari peristiwa tragedi 1965, puluhan ribu orang ditahan pemerintah Orde Baru karena dituduh memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia.
Para tahanan politik kemudian dikirim ke Pulau Buru untuk membuka lahan yang sekaligus menjadi lokasi penahanan mereka.
Mbah Senen, salah satu tahanan politik yang dibebaskan pada 1979, memilih tetap tinggal di Pulau Buru meski sebagian besar tahanan kembali ke kampung halaman.
Ia menuturkan kuncinya tetap sehat hingga usia senja adalah menerima semua kepahitan yang dialami dengan ikhlas.
Meski berusia 97 tahun, Mbah Senen terlihat bugar dan suara serta ingatannya tetap tajam, hanya pandangannya yang mulai kabur karena katarak.
Cerita hidupnya yang setengah abad lalu dapat diceritakan dengan runut, meski periode waktu kadang tidak tepat karena ia tidak bisa membaca atau menulis.
Pada malam tahun 1965 di rumahnya di Desa Sonde, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Mbah Senen didatangi beberapa petugas bersenjata yang menjemputnya.
Ia dipaksa ikut tanpa mampu melawan dan sepanjang perjalanan terus bertanya-tanya alasan penjemputan tersebut.
Setelah di kantor kecamatan, ia diinterogasi mengenai keterlibatannya dengan PKI, namun ia menjawab tidak tahu karena memang tidak mengerti apa-apa.
Jawaban itu tidak membuat petugas percaya sehingga Mbah Senen dipaksa mengaku, namun ia tetap bertahan dengan ketidakmengetahuannya meski mendapat kekerasan fisik.
Setelah itu, ia dipindah ke Kodim Ngawi, kemudian Lapas Ngawi, dan akhirnya pada 1972 dikirim ke Pulau Buru, tinggal di barak-barak sederhana bersama sekitar 700 tahanan lain.
Di Pulau Buru, para tapol diwajibkan bekerja paksa bercocok tanam di sawah yang hasilnya diserahkan kepada petugas.
Pengawasan ketat diterapkan petugas bersenjata, dan peringatan diberikan melalui tembakan jika ada yang bermalas-malasan.
Mbah Senen mengirim surat kepada istrinya agar tidak datang ke Pulau Buru karena kondisi di kamp sangat memprihatinkan.
Namun, istri dan anaknya akhirnya datang, sehingga ia dibangunkan rumah kayu sebagai tempat tinggal bersama keluarga hingga kini.
Selama berada di Pulau Buru, keluarga Mbah Senen ikut menderita karena jatah makanan yang sangat minim dan harus mengandalkan bahan seadanya dari alam sekitar.
Pada 1979, para tapol secara resmi dibebaskan, namun Mbah Senen memilih tetap tinggal di Pulau Buru karena tanahnya subur dan sawah-sawah hasil kerja tapol sebelumnya sudah tertata baik.
Para mantan tapol lainnya kembali ke kampung, sehingga pemerintah mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa yang menempati sawah dan irigasi hasil kerja tapol.
Mbah Senen mengungkapkan perjalanan hidupnya yang pahit tidak akan dilupakan, namun ia telah berdamai dengan masa lalu tanpa rasa dendam.
Tidak ada kata dendam baginya, karena ikhlas lahir batin membuatnya bisa menerima masa lalu dan tetap sehat secara fisik maupun mental.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok