Repelita Jakarta - Advokat Subhan Palal menduga berkas persyaratan yang diajukan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden cacat.
Hal ini karena Gibran mendaftar menggunakan ijazah SMA dan Strata Satu (S1) dari luar negeri.
Subhan Palal menjadi sorotan publik setelah menggugat Gibran senilai Rp125 triliun terkait keabsahan ijazah SMA mantan Wali Kota Solo tersebut.
"Legal standing saya adalah warga negara yang dijamin secara konstitusional oleh Undang-Undang. Itu satu. Kedua, saya pembayar pajak. Wajib pajak, membayar pajak," kata Subhan dalam wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
"Tapi, mendapatkan pemimpin yang begini. Yang begini itu kurang atau cacat bawaan. Karena salah satu syaratnya tidak terpenuhi tadi. Saya hanya ingin bukti bahwa dia pernah sekolah," tambahnya.
Subhan menjelaskan alasan angka ganti rugi Rp125 triliun dalam gugatan yang diajukan.
"Dalam gugatan, kondisi gugatan perbuatan melawan hukum itu, penggugat boleh meminta kerugian material dan imaterial. Nah, dalam gugatan ini, kalau kerugian imaterialnya, saya selaku penggugat hanya minta Rp10 juta. Imaterialnya, karena kerugian imaterial itu dalam terminologi itu nggak ada jumlanya. Tak terhingga. Oleh karena yang dirugikan itu adalah negara," jelasnya.
Ia menambahkan, angka Rp125 triliun itu dibagi ke seluruh warga negara Indonesia, yang saat ini berjumlah 285 juta.
"Nah, uang Rp125 triliun itu dibagi ke seluruh warga negara Indonesia itu tadi dengan bentuk, nggak tahu, APBN nanti, kan? Kan, setor kepada negara. Itu, kalau dilihat dari sisi itu kecil, Pak. Kerugian yang saya minta dari orang per orang sekitar 450 ribuan," ungkap Subhan.
Terkait pertanyaan apakah angka tersebut memiliki filosofi khusus, Subhan menjawab:
"Sebenarnya angkanya itu nggak matematis. Itu Rp450 ribu. Kita pendekat, di angka 45. Yang jelas, saya pingin warga negara Indonesia itu kebagian dari ganti rugi kerusakan sistem negara hukum itu."
Subhan menegaskan bahwa dirinya bukan melakukan pansos atau mencari popularitas.
"Nggak. Saya terkenal untuk apa? Saya bukan artis. Bukan figure apa? Public figure. Bukan, saya pengacara. Malah rugi saya, Pak. Nggak ada orang yang mau deketin saya. Iya," ujarnya.
Ia juga menjawab pertanyaan mengenai sidang perdana pada 8 September 2025, di mana keberatan diajukan karena Gibran diwakili oleh pengacara negara.
"Saya menggugat ini adalah menggugat calon wakil presiden. Kalau calon wakil presiden, kenapa negara hadir? Maka saya keberatan. Dan keberatan saya diterima oleh hakim supaya negara nggak ada di ruangan itulah, kira-kira," katanya.
Subhan menjelaskan konsep gratifikasi jika pengacara negara dibayar pro bono.
"Kalau dibayar profesional, profesional, oke, nggak apa-apa. Tapi kalau pro bono, berarti gratifikasi? Dalam konteks ini, sebagai wakil presiden, terima gratifikasi, gitu kan? Ya kira-kira gitu," jelasnya.
Ia yakin Gibran tidak memenuhi syarat ijazah setingkat SMA karena riwayat pendidikan yang tercatat di portal KPU menunjukkan ketidaksesuaian.
"Itu ada pengumuman yang dimuat di portal KPU. Pendidikan wakil presiden waktu itu, SD, SMP, terus SMA-nya diselenggarakan di Singapura. Tiba-tiba SMA itu. Lalu diselenggarakan lagi, ada SMA lagi. Dua kali di Australia. Lalu dia bikin S1 ke Singapura lagi. Nah, peristiwa yang kayak gini, kondisi yang begini ini, nggak cocok dengan undang-undang," tuturnya.
Subhan menyebut pihak KPU sudah menerima somasi dan keberatan terkait masalah ini. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok