Repelita Yogyakarta - Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman menilai praktik politik saat ini telah bergeser menuju pengabaian suara masyarakat.
Ia menegaskan banyak kebijakan negara justru merugikan publik, seperti megaproyek pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, hingga program strategis nasional yang mengorbankan kepentingan rakyat.
Menurut Herlambang, kondisi tersebut mencerminkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang seharusnya dijamin konstitusi.
“Banyak kebijakan publik justru mematikan rakyat, seperti proyek MBG, eksploitasi sumber daya, hingga program strategis nasional yang sering mengorbankan kepentingan masyarakat. HAM yang dijamin konstitusi dilanggar secara terang-terangan” tegasnya, dikutip pada Senin (1/9/2025).
Ia juga menyoroti pola kekerasan aparat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kerap dibiarkan tanpa proses hukum yang jelas.
Kondisi tersebut dinilai menunjukkan lemahnya pengawasan sipil terhadap institusi keamanan negara.
“Kalau tidak ada penguatan supremasi sipil, kekerasan dan pelanggaran HAM akan terus berulang. Presiden harus berkomitmen menghentikan praktik represif aparat dengan mendisiplinkan dan mengevaluasi kebijakan yang menyalahi kepentingan publik” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif PUSKAPOL Universitas Indonesia, Hurriyah, melihat fenomena gelombang aksi massa belakangan ini sebagai wujud reaksi spontan masyarakat terhadap lemahnya lembaga politik dalam menyerap aspirasi rakyat.
Ia menilai respons publik bukanlah peristiwa mendadak, melainkan akibat dari semakin sempitnya ruang sipil dalam beberapa tahun terakhir.
"Ini bukan muncul tiba-tiba, tapi akibat ruang sipil yang semakin menyempit selama beberapa tahun terakhir. Produk kebijakan dibuat secara ugal-ugalan, menguntungkan pejabat, dan merugikan rakyat” jelasnya.
Menurut Hurriyah, strategi pemerintah dalam menghadapi kritik cenderung represif.
Ia menyebut praktik kriminalisasi, intimidasi, hingga peretasan data pribadi digunakan untuk membungkam suara masyarakat.
"Kritik publik bukan dilihat sebagai masukan, tapi justru diframing sebagai ancaman, bahkan dilecehkan sebagai antek asing. Pemerintah menggunakan buzzer, rekayasa opini, dan politik pecah belah untuk melemahkan masyarakat sipil” tegas Hurriyah.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa masyarakat tetap memiliki daya tahan menghadapi tekanan politik yang represif.
Menurutnya, gerakan massa harus dikelola secara konsolidatif dan diarahkan pada jaringan yang lebih luas agar tidak tertinggal dibanding konsolidasi elite.
“Gerakan massa harus tetap terarah, konsolidatif, dan membangun jaringan. Jangan sampai kalah cepat dengan konsolidasi elite politik. Pemerintah harus segera menggelar rapat kabinet untuk membatalkan kebijakan-kebijakan bermasalah dan mendengarkan masyarakat, bukan menindasnya” tutupnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok