Repelita Jakarta - Pergantian Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam) pasca reshuffle kabinet oleh Presiden Prabowo Subianto pada 8 September 2025 memunculkan spekulasi baru dalam dinamika politik nasional.
Salah satu nama yang mencuat adalah Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI sekaligus eks Kepala Staf Angkatan Darat. Namun di balik sorotan publik terhadap peluang Gatot, terdapat pertimbangan politik dan strategi yang lebih kompleks.
Pengamat politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, menilai kedekatan Gatot dengan Presiden Prabowo menjadi modal besar dalam bursa calon Menko Polkam.
Ia menambahkan, secara kalkulasi politik, peluang Gatot cukup terbuka karena hubungan personalnya dengan presiden. Meski demikian, ia menilai Gatot belum menunjukkan kapasitas yang teruji dalam mengelola isu hukum, politik, serta keamanan lintas sektor.
Analis komunikasi politik Hendri Satrio menyampaikan bahwa semua nama yang beredar masih sebatas spekulasi publik. Ia menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden Prabowo.
Sementara itu, pengamat politik dan militer dari Universitas Nasional, Selamat Ginting, menilai hubungan Gatot dengan Presiden Prabowo dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono tidak bermasalah.
Namun, catatan politiknya kurang baik dengan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Gatot pernah diberhentikan dari jabatan Panglima TNI sebelum masa pensiunnya, yang memicu ketegangan politik pada saat itu.
Kondisi ini dianggap menguntungkan Prabowo karena ia kini tengah merapikan barisan kabinet dengan figur-figur yang loyal dan tidak terikat kepentingan politik masa lalu.
Dalam konteks tersebut, Gatot dipandang bisa berperan sebagai “bulldozer” untuk merombak struktur kekuasaan lama. Hal ini juga mencuat dalam diskusi publik melalui polling daring yang ramai diperbincangkan di platform X.
Polling yang dibuat akun anonim bernama “Lambe Waras” pada 10 September 2025 menunjukkan respons publik yang terbelah. Sebagian warganet mendukung Gatot sebagai simbol perlawanan terhadap loyalis Jokowi.
Namun sebagian lain menolak karena khawatir reputasi Gatot bisa rusak jika masuk ke dalam politik praktis yang dianggap kotor.
Di sisi lain, pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Khairul Fahmi, menilai terdapat alternatif lain seperti Hadi Tjahjanto dan Tito Karnavian yang lebih teknokratik serta memiliki pengalaman panjang dalam birokrasi sipil.
Penunjukan Menko Polkam tidak sekadar pengisian jabatan kosong, tetapi mencerminkan arah politik Presiden Prabowo. Jika Gatot dipilih, itu menandakan konsolidasi kekuasaan berbasis loyalitas militer sekaligus simbol perlawanan terhadap era sebelumnya.
Namun jika pilihan jatuh kepada figur teknokratik, maka kebijakan bisa lebih pragmatis dan stabil.
Dalam situasi Indonesia yang sedang berupaya memulihkan krisis sosial, pilihan Presiden Prabowo terkait Menko Polkam akan menjadi indikator penting. Publik menantikan apakah yang diprioritaskan adalah stabilitas atau konfrontasi, teknokrasi atau simbolisme. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok