Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Trump dan Amerika Serikat: Dari Guru Ekonomi hingga Kiai Jarkoni yang Mengingkari Ajaran Sendiri

 Sebut Sebagai Hari Pembebasan, Trump Berlakukan Tarif Impor 32 Persen Untuk  Produk Indonesia - Realita Publik

Repelita Jakarta - Amerika Serikat, yang selama ini dianggap sebagai guru besar dalam berbagai bidang, terutama dalam ekonomi dan politik, kini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kredibilitasnya.

Banyak negara, termasuk Indonesia, yang telah belajar banyak dari sistem yang diajarkan oleh Amerika Serikat.

Para politisi, ekonom, dan birokrat Indonesia banyak yang melanjutkan pendidikan di negeri Paman Sam dan kembali untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh.

Salah satu yang turut mempelajari dan mengembangkan konsep-konsep tersebut adalah Anthony Budiawan, seorang pengamat ekonomi yang mempelajari penerapan sistem ekonomi AS di Indonesia.

Namun, seiring berjalannya waktu, citra Amerika sebagai guru mulai memudar.

Salah satu faktor utamanya adalah ketidakkonsistenan dalam penerapan hak asasi manusia (HAM).

Amerika Serikat sering kali dituduh memiliki standar ganda, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kepentingan Israel.

Situasi ini membuat reputasi Amerika sebagai teladan dalam menegakkan HAM dan demokrasi semakin dipertanyakan, bahkan oleh negara-negara yang sebelumnya sangat mengaguminya.

Meski demikian, Amerika Serikat tampaknya belum menyadari penurunan kredibilitas ini.

Di bidang ekonomi, Amerika kini tampak lebih mementingkan kepentingan nasionalnya, bahkan menghalalkan berbagai cara untuk melindungi industri dalam negeri, meski bertentangan dengan prinsip persaingan bebas yang pernah diajarkannya.

Hal ini terlihat jelas saat Amerika marah terhadap kebijakan QRIS yang diterapkan oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, yang dianggap merugikan perusahaan kartu kredit besar seperti Mastercard dan Visa yang berbasis di AS.

Anthony Budiawan mengungkapkan bahwa seharusnya Amerika sebagai negara yang mengajarkan efisiensi dan persaingan bebas, seharusnya mendukung inovasi-inovasi seperti QRIS.

Sebab, sistem tersebut lebih murah, lebih cepat, dan lebih efisien, sesuai dengan apa yang diajarkan di banyak perguruan tinggi di AS dan yang telah diterapkan di masyarakat Amerika.

Namun, ketika persaingan tersebut merugikan kepentingan ekonomi Amerika, mereka justru menentangnya.

Maka, tak heran jika kini banyak yang berpendapat bahwa Amerika, yang dulunya dianggap sebagai guru teladan, kini berubah menjadi seperti Kiai Jarkoni dalam lelucon lokal, yang dalam bahasa Indonesia berarti "bisa mengajar, tapi tidak bisa menjalankan apa yang diajarkan."

Amerika yang dulu menjadi teladan dalam globalisasi dan persaingan bebas kini tampaknya harus lebih hati-hati dalam mengklaim sebagai pemimpin dunia.

Mungkin sudah saatnya, seperti yang dikatakan oleh banyak pengamat, untuk menjauh dari Amerika dan belajar dari negara-negara lain yang lebih konsisten dalam menerapkan prinsip yang mereka ajarkan.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.id | All Right Reserved