Repelita Jakarta - Pertemuan peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, memicu kontroversi.
Para peserta Sespimmen mendatangi kediaman pribadi Jokowi di Solo.
Langkah ini dilakukan saat kepemimpinan nasional telah berganti ke tangan Presiden Prabowo Subianto.
Pengamat politik Ray Rangkuti menilai pertemuan ini menunjukkan lemahnya kendali Prabowo terhadap institusi negara.
Menurutnya, silaturahmi ke Jokowi mencerminkan bahwa ada kekuasaan yang belum sepenuhnya berpindah.
"Terbaginya kekuasaan yang membuat para peserta lebih memilih bertemu Jokowi. Ini sinyal ketidaktegasan pemimpin yang baru," ujarnya.
Hal senada disampaikan Dedi Kurnia Syah.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion itu menilai, peristiwa ini memperlihatkan Jokowi masih memiliki pengaruh kuat di tubuh Polri.
"Festival kedekatan Jokowi dengan para elite, termasuk penegak hukum, jadi pemandangan yang janggal. Ia seolah masih menjabat," kata Dedi.
Dedi bahkan mengaitkan langkah Jokowi dengan upayanya mempertahankan kekuasaan pasca Pilpres 2024.
Menurutnya, ini bisa jadi bentuk lanjutan dari cawe-cawe politik yang dilakukan sejak kampanye pemilu lalu.
Sementara itu, pengamat dari Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai langkah Sespimmen ke Jokowi adalah bagian dari upaya Jokowi mempertahankan popularitas.
Ia menyebut mantan presiden itu ingin terus menjadi pusat perhatian publik dan institusi.
Sebagian warganet turut menyuarakan keheranannya terhadap langkah Sespimmen.
"Presidennya sudah ganti, kenapa yang didatangi masih Jokowi? Aneh," tulis akun @bangraditya.
Akun lain menyebut, "Kalau Prabowo tegas, harusnya ini gak terjadi. Mana wibawa pemimpin baru?"
Meski begitu, ada juga yang membela Jokowi.
"Silaturahmi itu bagus. Gak usah dibawa ke politik," komentar akun @renita.id.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, menyebut pertemuan tersebut seharusnya tidak dipermasalahkan.
Ia menilai Jokowi tetap memiliki hubungan baik dengan berbagai lembaga negara.
Namun sorotan publik justru mengarah pada lemahnya pengaruh Prabowo dalam mengkonsolidasikan kekuasaan.
Pengamat menyebut Prabowo harus lebih tegas dalam menjaga arah dan kewibawaan kepemimpinan nasional.
Pertemuan Sespimmen dengan Jokowi pun menjadi simbol dari ketidaktegasan tersebut.
Transisi kekuasaan dinilai belum sepenuhnya tuntas secara simbolik dan institusional.
Tantangan bagi Prabowo adalah membangun kepemimpinan yang kuat dan disegani.
Konsolidasi terhadap semua institusi menjadi langkah mutlak untuk memperkuat posisi politiknya ke depan.
Polemik ini memberi pesan bahwa kekuasaan bukan hanya formalitas.
Melainkan harus nyata dirasakan dalam pengaruh dan kendali terhadap institusi negara.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok