Repelita Jakarta - Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun, dituding memprovokasi mahasiswa terkait Undang-Undang TNI. Dalam sebuah flyer bertajuk "Klarifikasi Terbuka untuk Mengembalikan Marwah UNJ" yang dibuat oleh BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) UNJ, Ubedillah disebut sebagai dalang di balik ajakan penolakan UU TNI.
Seorang mahasiswa FISH UNJ mengakui bahwa flyer tersebut seakan mengarahkan mahasiswa untuk menolak bahkan memusuhi para pendukung UU tersebut.
Sebelumnya, seorang guru besar UNJ mengeluarkan pernyataan agar keputusan DPR terkait pengesahan RUU TNI dihormati. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UNJ, Muhammad Falah Musyafa, juga mendukung revisi UU tersebut.
Menanggapi hal ini, Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, menilai bahwa tindakan Ubedillah mencerminkan sikap anti-demokrasi karena menolak adanya perbedaan pandangan di lingkungan kampus.
"Dunia akademik seharusnya menjadi ruang diskusi yang sehat dan terbuka, bukan alat untuk menanamkan sikap intoleran terhadap perbedaan pandangan. Sebagai akademisi, Ubedillah Badrun seharusnya menjunjung tinggi kebebasan akademik dengan membuka ruang diskusi yang objektif," ujar Noor Azhari.
Ia menambahkan bahwa Ubedillah justru mendorong mahasiswa untuk menentang pandangan yang sah dan konstitusional dari HMI UNJ maupun guru besar UNJ. Noor Azhari menegaskan bahwa revisi UU TNI adalah bagian dari dinamika ketatanegaraan yang sah dalam sistem demokrasi Indonesia.
"Dalam Pasal 22A UUD 1945 dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan undang-undang telah diatur, yang berarti setiap revisi UU merupakan proses legal dan konstitusional. Tidak ada alasan untuk menghalangi atau menstigmatisasi revisi UU TNI sebagai sesuatu yang tabu. Bahkan, negara mempersilakan siapapun yang berbeda pandangan untuk menggugat ke MK, sebagai bentuk demokrasi," jelasnya.
Menurut Noor Azhari, upaya menggiring opini seolah mendukung revisi UU TNI adalah tindakan yang salah merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpikir seseorang.
"Ini adalah bentuk penggiringan opini yang tidak sehat. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Tidak boleh ada upaya membungkam aspirasi yang sah dalam koridor demokrasi," tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa tindakan Ubedillah bertentangan dengan prinsip akademik dan kebebasan berpikir yang menjadi dasar pendidikan tinggi.
"UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan bahwa kebebasan akademik harus dijaga tanpa tekanan atau intervensi yang merusak independensi berpikir mahasiswa. Mengajarkan mahasiswa untuk menolak perbedaan pendapat dengan cara yang tidak sehat justru merusak nilai demokrasi," bebernya.
Dalam konteks hukum pidana, tindakan Ubedillah berpotensi masuk kategori provokasi yang dapat menimbulkan perpecahan.
"Pasal 160 KUHP menyebutkan bahwa siapa pun yang di muka umum menghasut orang lain untuk melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban umum dapat dipidana. Pernyataan provokatif yang menimbulkan ketegangan di lingkungan akademik harus menjadi perhatian serius," ujarnya.
Noor Azhari mengingatkan bahwa demokrasi harus dibangun dengan musyawarah dan keterbukaan terhadap perbedaan pendapat, bukan dengan cara represif dan provokatif.
"Jika ada pihak yang tidak setuju dengan revisi UU TNI, silakan berargumen secara konstitusional dan akademik, bukan dengan menyebarkan provokasi kepada mahasiswa yang seharusnya diajarkan berpikir kritis dan mandiri," katanya.
Ia menyerukan kepada akademisi untuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam dunia pendidikan.
"Kampus dan civitas akademika harus menjadi tempat yang aman bagi kebebasan berpikir dan berdiskusi, bukan alat propaganda kepentingan tertentu. Mari kita jaga demokrasi dengan cara yang sehat dan bermartabat," pungkasnya.(*).
Editor: 91224 R-ID Elok