Repelita Jakarta - Terungkap hanya 50 Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dibatalkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di area pagar laut Tangerang. Adapun 50 sertifikat tersebut berada di Desa Kohod.
Berdasarkan penelusuran awal, ditemukan bahwa di lokasi tersebut telah diterbitkan sebanyak 263 bidang SHGB. Rinciannya, 234 bidang SHGB atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang atas nama perseorangan. Selain itu, terdapat 17 bidang Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan tersebut.
Pembatalan yang hanya menyasar 50 SHGB ini menuai sorotan dari berbagai pihak, termasuk netizen. “Loh yang dibatalkan @atr_bpn cuma 50 sertifikat? Kenapa gak semua?” tulis akun X Elisa @elisa_jkt.
Akun lain, @PartaiSocmed, juga memberikan pendapat terkait hal ini. “Ada fakta menarik dari ribut-ribut laut punya HGB: 1. Pembuatan sertifikat dilakukan oleh kantor pertanahan kabupaten tanpa persetujuan kanwil atau pusat. 2. Selain HGB ada juga SHM yang diterbitkan lalu dibeli oleh badan hukum sehingga statusnya jadi HGB.”
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, turut mempertanyakan keputusan pemerintah yang hanya mencabut 50 sertifikat. “Kok cuma 50 yang dicabut?” tulisnya di akun X @msaid_didu. Ia juga menyinggung kemungkinan adanya desa lain yang mengalami kasus serupa namun belum tersentuh tindakan hukum. “Bagaimana dengan desa lain yang juga melakukan hal sama?” ungkapnya.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menjelaskan, pembatalan sertifikat dilakukan setelah dilakukan pengecekan material di lokasi yang tidak lagi memiliki wujud fisik tanah sehingga masuk kategori tanah musnah. “Kalau dulunya empang, tapi sekarang sudah tidak ada tanahnya, maka itu masuk kategori tanah musnah,” ujar Nusron Wahid saat berkunjung ke Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Jumat.
Nusron juga menegaskan bahwa jika barang atau material di lokasi tersebut sudah tidak ada, maka hak apa pun di situ, termasuk hak milik maupun hak guna bangunan, akan hilang. “Kami cek satu per satu. Kalau memang sertifikatnya ada tetapi tidak ada materialnya, otomatis kami batalkan. Tapi kalau masih ada materialnya seperti empang dengan wujud tanah dan ikan, itu tetap aman,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa proses pembatalan sertifikat dilakukan secara bertahap untuk memastikan akurasi dari sertifikat-sertifikat yang dimiliki oleh warga. “Prosesnya bertahap karena harus dicek satu per satu,” ucapnya.
Sebelumnya, Nusron menyebutkan bahwa terdapat 280 sertifikat yang ditemukan di kawasan pagar laut di Desa Kohod, terdiri dari 263 HGB dan 17 SHM. Dari hasil penelusuran, ditemukan sejumlah sertifikat yang berada di luar garis pantai. “Secara faktual pada kondisi saat ini terdapat sertifikat yang berada di bawah laut,” ungkap Nusron.
Penemuan pagar laut dari cerucuk bambu di perairan Tangerang sepanjang 30,16 kilometer menjadi pemicu awal penanganan kasus ini. Masalah ini awalnya ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun kemudian melibatkan Kementerian ATR/BPN setelah ditemukan sertifikat tanah di bawah laut tersebut.
Pagar laut tersebut diduga menghalangi akses nelayan ke laut dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat setempat. Pembongkaran pagar laut oleh TNI AL beberapa waktu lalu semakin menguatkan dugaan adanya pelanggaran dalam penguasaan lahan di kawasan itu. Menteri ATR/BPN kemudian mengambil langkah tegas dengan mencabut puluhan sertifikat yang terbit di area tersebut.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok