Repelita Jakarta - Pakar forensik digital Muhammad Nuh Al-Azhar meragukan keahlian Rismon Hasiholan Sianipar dalam bidang forensik digital.
Pernyataan tersebut disampaikan Nuh saat menanggapi analisis Rismon terkait kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin.
Menurut Nuh, seorang ahli seharusnya memiliki keterikatan dengan komunitas profesional yang diakui secara resmi.
Ia mencontohkan keberadaan Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) sebagai wadah profesional yang sah.
Oke, kita ngomong digital forensic. Anggap saja praktisi, ahli, atau apa pun. Ada komunitasnya, yaitu AFDI, ujarnya kepada awak media usai menghadiri acara Cyber Security and Forensic Summit 2025 di Farincorp Center, Jakarta, Selasa, 14 Oktober 2025.
Nuh menegaskan bahwa seluruh materi yang dipermasalahkan Rismon telah dijelaskan dalam persidangan sebelumnya.
Termasuk di antaranya perbedaan jumlah frame, tampilan hitam-putih, dan aplikasi yang digunakan dalam analisis digital forensik.
Bahkan di PN Jakarta Pusat pada persidangan pertama, saya sudah datang diminta sama Majelis Hakim untuk konfrontasi dengan Rismon. Tapi begitu saya datang, Rismon tidak mau, alasannya ini sesi mereka, ungkapnya.
Ia menyatakan tidak keberatan jika dilakukan pemeriksaan ulang, karena yakin hasilnya akan tetap sama.
Namun, menurutnya, Rismon justru menolak dengan alasan membutuhkan waktu yang lama, padahal sebelumnya ia sendiri yang meminta pemeriksaan ulang.
Kalau 2 ditambah 3 hasilnya 5, mau di mana pun akan 5, tidak akan berubah. Kan ada namanya apple to apple. Bahan uji sama, metode uji sama, peralatan uji sama, maka harusnya hasilnya akan sama, jelas Nuh.
Ia juga menyoroti perubahan display aspect ratio pada rekaman CCTV yang dianalisis Rismon.
Rismon disebut mengambil video dari YouTube dan menampilkannya di persidangan dengan rasio 1 banding 1, padahal aslinya 5 banding 3.
Jadi dia ambil dari YouTube, kemudian dia tampilkan di depan persidangan itu, display aspect ratio-nya 1 banding 1. Padahal sesungguhnya display aspect ratio rekaman CCTV adalah 5 banding 3. Jadi 5 banding 3, dia ubah menjadi 1 banding 1, semua orang yang ada di sana jadi lonjong, karena merapat, terangnya.
Menurut Nuh, langkah tersebut tidak sesuai dengan standar forensik digital internasional.
Ia menjelaskan bahwa video dari YouTube telah mengalami tiga kali distorsi, yakni saat pengambilan, saat diunggah, dan saat diunduh kembali.
Sudah tiga kali distorsi, tidak bisa dijadikan bukti di persidangan. Tapi ngotot itu ditampilkan sebagai bukti di persidangan. Dengan alasan itu adalah secondary evidence. Padahal itu salah. Sesuai dengan ISO 27037, primary evidence itu akan melahirkan secondary evidence. Sedangkan dia tidak menyebut primary evidence, tegasnya.
Nuh juga menyebut bahwa rekaman yang ditampilkan Rismon dalam sidang peninjauan kembali (PK) tahun lalu bukanlah bukti baru.
Itu sudah pernah ditampilkan sebelumnya, jadi bukan novum, katanya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada rekayasa bukti dalam kasus tersebut dan seluruh proses dilakukan secara ilmiah tanpa intervensi pihak mana pun.
Saya tegaskan di sini juga bahwasanya tidak ada intervensi apa pun dari pimpinan di atas, karena itu murni ilmiah. Barang bukti yang kita terima dari Polda Metro Jaya itu adalah flashdisk, kemudian kita diskusi juga sama penyidiknya. Tidak ada saya ketemu sama pimpinan di atas, jelasnya.
Nuh juga membantah tudingan yang menyebut dirinya memiliki hubungan khusus dengan pimpinan Polda Metro Jaya saat itu.
Ia menegaskan bahwa seluruh analisis dilakukan berdasarkan bukti ilmiah yang telah diuji dan ditampilkan di depan persidangan.
Rekaman CCTV itu kita bedah momen per momen yang waktu itu ditampilkan di depan PN Jakarta Pusat dari pagi, siang, sampai setelah zuhur juga masih lanjut. Momen-momen itu untuk menampilkan kejadian rekonstruksi yang sesungguhnya. Sering kali Majelis Hakim bilang, ‘setop di situ, zoom, lanjut lagi, back lagi, setop, zoom’ gitu menunjukkan momennya, papar Nuh.
Sebagaimana diketahui, Jessica Wongso divonis 20 tahun penjara atas kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin pada 2016 dan telah bebas bersyarat sejak 18 Agustus 2024.
Sesuai aturan Kementerian Hukum dan HAM, Jessica masih harus menjalani pembimbingan dan wajib lapor hingga 2032.
Meskipun telah bebas bersyarat, Jessica tetap mengajukan PK karena merasa tidak bersalah dan ingin memulihkan nama baiknya.
Otto Hasibuan, kuasa hukum Jessica, menekankan bahwa PK diajukan untuk mendapatkan keadilan penuh serta perlindungan atas hak-haknya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

