Repelita Jakarta - Pakar kebijakan publik dan transportasi, Agus Pambagio, menegaskan bahwa moda transportasi kereta cepat secara global tidak pernah memberikan keuntungan secara bisnis. Pernyataan ini disampaikan Agus dalam menanggapi polemik proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang kini menjadi beban keuangan negara.
Agus menyampaikan bahwa Menteri Keuangan Purbaya Yudha Sadewa telah menyatakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak akan menanggung utang proyek warisan Presiden Joko Widodo tersebut. Ia menilai bahwa proyek kereta cepat seharusnya disesuaikan dengan kemampuan finansial nasional.
“Jangan lupa, kereta di seluruh dunia itu tidak ada yang untung. Amerika itu kan tol, kalau Eropa memang banyak kereta tapi tidak untung,” ujar Agus dalam kanal Youtube Abraham Samad, Senin, 27 Oktober 2025.
Agus menyatakan tidak menolak ambisi Presiden Jokowi dalam pengembangan teknologi tinggi di Indonesia. Namun, ia menekankan bahwa proyek seperti kereta cepat harus mempertimbangkan kondisi keuangan negara yang terbatas.
“Saya setuju jika Jokowi ingin mengembangkan teknologi, tapi kan harus diukur dengan kemampuan kita. Memang kita nggak punya cash, pasti ngutang, tapi saya sudah ingatkan bahwa itu pasti rugi,” tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa Jepang sebenarnya telah menawarkan kerja sama dengan bunga pinjaman sangat rendah, yakni 0,1 persen, berdasarkan rancangan tim dari Universitas Indonesia. Namun, kerja sama tersebut tiba-tiba dialihkan ke Tiongkok.
Menurut Agus, pemerintah kini menghadapi dilema karena proyek sudah berjalan dan utang harus dibayar. Baik melalui APBN maupun dana antar lembaga, sumber pembiayaan tetap berasal dari uang rakyat.
“Mau pakai APBN, mau pakai Danantara, kan tetap uang kita. Sekarang Menteri Keuangan, CEO Danantara, dan Komisi XI DPR harus duduk bersama. DPR juga harus tahu karena ini sudah urusan politik dan fiskal,” ujarnya.
Agus juga mengkritik langkah pemerintah yang menyebut restrukturisasi utang sebagai solusi. Ia menilai bahwa restrukturisasi hanya menunda masalah tanpa mengurangi beban pokok pinjaman.
“Luhut bilang ini bisa direstrukturisasi. Iya, restrukturisasi utang apapun bentuknya kan cuma narik ulur aja. Kalau ini sudah 80 tahun, mau ditarik jadi 200 tahun? Jumlah pinjamannya tetap, bunganya bisa turun, tapi pokoknya tetap sama,” katanya.
Lebih lanjut, Agus mempertanyakan transparansi dokumen dan catatan negosiasi antara Indonesia dan Tiongkok. Ia mendesak agar dokumen tersebut dibuka, terutama jika aparat hukum akan melakukan pemeriksaan.
“Yang jadi concern saya sampai saat ini adalah catatan ketika berunding dengan Cina itu ada nggak? Karena dokumen Cina nggak boleh diketahui publik. Kita pasti punya dong, masa nggak. Kedua, catatan ketika negosiasi untuk cost overrun itu ada nggak? Jadi nanti kalau aparat hukum mau memeriksa, dia harus punya itu,” tutup Agus.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

