Repelita Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta seluruh kepala daerah menunda pelaksanaan acara seremonial yang menampilkan kemewahan dan kesan berlebihan.
Ia menilai di tengah kondisi sosial yang sedang rawan, pesta-pesta pejabat berpotensi menimbulkan persepsi negatif dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan provokasi oleh pihak tertentu.
“Semua kegiatan seremonial yang terkesan pemborosan, dengan musik-musik seperti pesta, sebaiknya ditunda dulu. Situasinya sangat sensitif,” ujar Tito dalam rapat koordinasi di Gedung Kemendagri, Jakarta Pusat, Selasa (2/9/2025).
Tito mendorong pemerintah daerah agar menyelenggarakan acara dengan cara sederhana namun bermakna, seperti tumpengan atau memberikan santunan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Menurutnya pendekatan seperti ini lebih tepat dan memberi manfaat nyata di tengah situasi sosial saat ini.
“Baik HUT daerah maupun kegiatan kedinasan lainnya, rayakanlah dengan cara yang sederhana. Memberikan santunan kepada yatim piatu atau warga kurang mampu jauh lebih berdampak,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan risiko tersebarnya potongan video acara mewah di media sosial, yang bisa dimanfaatkan untuk menggiring opini negatif terhadap pejabat.
“Kalau ada pesta dengan musik, lalu dipotong dan disebar di TikTok, bisa langsung dibandingkan dengan kondisi masyarakat yang sedang menuntut sikap low profile dari pejabat. Itu bisa jadi amunisi baru yang digoreng siapa saja,” tutup Tito.
Selain itu Tito mengingatkan kepala daerah dan pejabat publik untuk tidak memamerkan gaya hidup mewah di tengah ketegangan sosial.
Ia menilai tindakan flexing bisa menjadi sumber provokasi, terutama jika kontennya tersebar di media sosial.
“Jangan sampai ada flexing kemewahan, baik oleh pejabat maupun keluarganya,” tegas Tito.
Ia meminta agar pejabat juga mengingatkan keluarga untuk berhati-hati dalam berpakaian dan menggunakan barang-barang mencolok seperti cincin, jam tangan, perhiasan, hingga kendaraan mewah.
Tito juga menekankan agar acara pribadi yang terkesan glamor dihindari, karena unggahan media sosial bisa mudah diedit dan dipelintir menjadi bahan provokasi.
“Lebih baik dirayakan dengan cara sederhana. Situasinya sangat sensitif, masyarakat mudah terprovokasi oleh potongan video atau gambar yang dibuat sedemikian rupa,” ujarnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok