Repelita Jakarta – Kamis, 28 Agustus 2025, aksi demonstrasi buruh berlangsung di berbagai titik kota besar termasuk Jakarta dan Bandung.
Para buruh menyuarakan tuntutan utama mereka mengenai penghapusan sistem outsourcing yang dianggap merugikan karyawan.
Massa juga menuntut penghentian pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan pembentukan Satgas PHK untuk mengawasi praktik perusahaan.
Selain itu, mereka meminta reformasi pajak tenaga kerja termasuk menaikkan PTKP dan menghapus diskriminasi pajak terhadap perempuan.
Tuntutan lainnya mencakup pengesahan RUU Ketenagakerjaan, RUU terkait perampasan aset, serta revisi sistem pemilu dan perlindungan pekerja digital platform.
Permasalahan outsourcing menjadi sorotan utama karena dianggap merugikan karyawan secara struktural dan sistemik.
Karyawan outsourcing biasanya bekerja berdasarkan kontrak terbatas dan tidak menjadi bagian resmi perusahaan.
Kontrak ini bisa dihentikan kapan saja tanpa perlindungan memadai, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan kecemasan bagi pekerja.
Upah yang diterima karyawan outsourcing umumnya lebih rendah dibandingkan karyawan tetap meskipun pekerjaan yang dilakukan sama.
Selain itu, gaji sering dipotong oleh perusahaan penyedia jasa outsourcing, yang berdampak pada total pendapatan pekerja yang jauh dari cukup.
Karier karyawan outsourcing hampir tidak memiliki jenjang promosi, pelatihan, atau pengakuan resmi di perusahaan.
Kondisi ini menurunkan loyalitas dan motivasi, serta memperlemah posisi tawar pekerja dalam negosiasi dengan perusahaan.
Hak-hak dasar seperti jaminan kesehatan, cuti, tunjangan, dan pesangon seringkali tidak terpenuhi bagi pekerja outsourcing.
Hal ini bertentangan dengan prinsip perlindungan buruh yang seharusnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Karena bukan bagian dari organisasi inti perusahaan, pekerja outsourcing lebih rentan dieksploitasi dengan jam kerja panjang dan tugas berlebihan tanpa kompensasi memadai.
Tuntutan penghapusan outsourcing dalam aksi 28 Agustus menjadi relevan dengan berbagai alasan tersebut.
Para buruh menekankan ketidakadilan sistem yang melegalkan outsourcing untuk pekerjaan inti, padahal seharusnya hanya berlaku untuk pekerjaan penunjang.
Mereka mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Ketenagakerjaan yang memperkuat perlindungan pekerja.
Jika outsourcing dihapus, karyawan akan memperoleh kepastian status kerja sebagai pekerja tetap, memberikan rasa aman dan prospek jangka panjang.
Hak-hak karyawan akan terpenuhi sepenuhnya termasuk tunjangan, cuti, jaminan pesangon, dan hak lainnya.
Produktivitas dan loyalitas pekerja akan meningkat karena perlakuan yang adil dan transparan dari perusahaan.
Risiko pemutusan hubungan kerja secara sepihak akan berkurang karena perlindungan hukum yang lebih kuat.
Pemerintah perlu menyiapkan mekanisme transisi yang adil bagi perusahaan untuk mengonversi outsourcing menjadi karyawan tetap tanpa membebani biaya operasional.
Sistem outsourcing jelas merugikan karyawan karena menciptakan ketidakamanan kerja, potensi eksploitasi, upah tidak adil, dan minim perlindungan.
Penghapusan outsourcing menjadi tuntutan mendesak bagi pekerja agar memperoleh hak yang seharusnya menjadi milik mereka.
Dampak positif dari penghapusan ini diharapkan memperkuat kesejahteraan dan stabilitas tenaga kerja di Indonesia. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok