Repelita Jakarta - Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang melontarkan istilah serakahnomic untuk menyoroti perilaku segelintir pihak yang dinilai rakus memanfaatkan kekayaan negara, menarik perhatian pakar linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Fariz Alnizar.
Fariz menjelaskan bahwa kata serakahnomic bukan sekadar sindiran biasa, tetapi contoh kreativitas berbahasa yang memadukan istilah ‘serakah’ dengan ‘economics’ sehingga menghasilkan makna baru yang relevan dengan kondisi sosial politik.
Dalam kajian linguistik, Fariz menilai istilah tersebut masuk kategori neologisme, yakni kata baru yang muncul karena ada kebutuhan untuk menggambarkan suatu gejala sosial secara lebih tajam dan spesifik.
Ia menekankan bahwa istilah ini dengan tegas menyoroti praktik ekonomi yang berakar pada kerakusan dan mengeksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat banyak.
Menurut Fariz, penggunaan istilah serakahnomic merupakan strategi retoris dengan muatan kalimat tanya retorik yang tidak menuntut jawaban langsung karena makna dan pesannya sudah jelas ditangkap oleh pendengar.
Lebih lanjut, strategi ini berfungsi membingkai isu ekonomi dengan konotasi moral yang kuat, sehingga publik lebih mudah memahami dampak praktik tersebut yang merugikan banyak pihak.
Ia menambahkan bahwa serakahnomic membawa unsur disfemisme, artinya secara sengaja menggunakan istilah yang mengandung makna negatif keras, berbeda dari eufemisme yang cenderung melembutkan makna.
Bagi Fariz, efek linguistik dari istilah serakahnomic mampu membangkitkan kesadaran masyarakat agar lebih kritis dan waspada terhadap praktik ekonomi yang timpang dan tidak adil.
Ia pun menilai kehadiran istilah tersebut memperkaya retorika politik Presiden Prabowo dengan bahasa yang lugas, mudah diingat, sekaligus memuat emosi kuat yang melekat di benak publik.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok