Repelita, Jakarta - Pengembangan pembangunan pesisir di Tangerang merupakan bagian dari proyek reklamasi besar yang diduga terhubung dengan pengembangan PIK 2. Proyek reklamasi ini mencakup total luas 9.000 hektare di pesisir utara Jawa dan dikerjakan secara bertahap.
Mukri Friatna, Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, menjelaskan bahwa proyek ini dibagi menjadi tujuh zonasi. Salah satunya adalah pembangunan pagar laut di pesisir Tangerang. Selain reklamasi, proyek ini juga meliputi pembangunan perumahan, kawasan industri, dan pelabuhan, dengan anggaran mencapai 20 triliun rupiah dan melibatkan investor dari China serta Singapura.
"Proyek ini sudah diketahui oleh pemerintah, khususnya BPN dan KKP. Tidak mungkin pengembangan wilayah ini tanpa sepengetahuan dua kementerian tersebut," kata Mukri. Pernyataan tersebut sejalan dengan yang disampaikan Gufroni, Ketua Riset dan Advokasi Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PP Muhammadiyah, yang menyebutkan bahwa reklamasi ini mencakup wilayah dari Merak hingga Cirebon.
Terkait pemasangan pagar laut di Tangerang, Gufroni mengungkapkan bahwa ada video yang menunjukkan pengakuan warga yang diperintahkan oleh Agung Sedayu Group untuk mengerjakan proyek tersebut. "Pemasangan pagar laut ini mencapai puluhan miliar rupiah dan jelas bukan swadaya dari warga," tambah Gufroni.
Sementara itu, Ahmad Khozainuddin, pengacara yang telah menggugat pembangunan pagar laut, mengungkapkan bahwa proyek tersebut berada di bawah perintah Ali Hanfiah, yang diduga merupakan orang dekat Aguan, pemilik Agung Sedayu Group. Khozainuddin, bersama Walhi dan Gufroni, menyatakan bahwa pagar laut ini merupakan bagian dari upaya untuk mensterilisasi kawasan yang akan direklamasi.
Walhi menuntut agar pagar laut yang telah disegel oleh KKP atas perintah Presiden Prabowo segera dibongkar. Mukri juga menegaskan bahwa yang paling penting adalah mengembalikan akses nelayan untuk menangkap ikan. "Nelayan harus bisa beroperasi tanpa hambatan, dan pagar laut yang mengganggu jalur nelayan perlu segera dibongkar," ujarnya.
"Kasihan nelayan harus membeli bahan bakar lebih mahal dan sulit mendapatkannya, sementara hasil laut tidak menutupi biaya operasional mereka," tambah Mukri.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok