Jakarta, 8 Desember 2024 - Gejolak di Suriah resmi berakhir dengan tumbangnya rezim pemerintahan Bashar al-Assad yang telah berkuasa selama 24 tahun. Konflik panjang yang dimulai pada tahun 2011 ini mencapai puncaknya ketika pasukan pemberontak berhasil merebut ibu kota Damaskus.
Presiden Bashar al-Assad dilaporkan melarikan diri dari Suriah menggunakan pesawat saat pasukan pemberontak mulai menyerang Damaskus. Namun, kabar terbaru menyebutkan bahwa pesawat yang membawa Bashar al-Assad ditembak jatuh oleh pemberontak, sehingga keberadaannya belum diketahui pasti.
Di balik runtuhnya rezim Bashar al-Assad, publik menyoroti perjalanan politik keluarganya. Ayah Bashar, Hafez al-Assad, dikenal sebagai tokoh penting yang memimpin Suriah selama tiga periode dari 1971 hingga 2000. Hafez al-Assad merupakan figur kuat yang memainkan peran besar di Timur Tengah selama lebih dari tiga dekade.
Hafez al-Assad lahir pada 6 Oktober 1930 dan meninggal pada 10 Juni 2000. Sebelum menjadi presiden, ia mengawali karier sebagai anggota Angkatan Udara Suriah dan menjadi pendiri Partai Ba’ath. Karier politiknya menanjak setelah kudeta tahun 1966, yang membawanya menjadi Menteri Pertahanan Suriah.
Sebagai presiden, Hafez al-Assad terlibat dalam beberapa peristiwa besar, termasuk Perang Enam Hari pada 1967 melawan Israel dan Perang Yom Kippur pada 1973. Meski Suriah gagal merebut kembali Dataran Tinggi Golan, Hafez berhasil memperkuat pengaruh Suriah di kawasan Timur Tengah, termasuk melalui intervensi di Lebanon selama perang saudara di negara tersebut.
Hafez al-Assad juga memainkan peran penting dalam berbagai konflik di Timur Tengah. Ia memilih berpihak kepada Iran dalam Perang Iran-Irak (1980-1988) dan menunjukkan sikap anti-Irak selama Perang Teluk I pada 1991. Meski demikian, kebijakan moderat yang diambilnya pada akhir masa kepemimpinan tidak berhasil membawa Suriah menandatangani perjanjian damai dengan Israel.
Kepemimpinan Hafez al-Assad kerap diwarnai dengan tindakan represif terhadap kelompok Islam militan, seperti yang terlihat dalam pembantaian Hama pada awal 1980-an. Langkah ini dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan rezim Partai Ba’ath yang dipimpinnya.
Runtuhnya Uni Soviet pada akhir 1991 membawa tantangan baru bagi Suriah, mengingat Uni Soviet selama ini menjadi sekutu utama negara tersebut. Dukungan senjata dan finansial dari Uni Soviet menurun drastis, sehingga rezim Hafez al-Assad mulai goyah. Meski demikian, Suriah tetap mempertahankan tuntutannya atas Dataran Tinggi Golan hingga akhir hayat Hafez al-Assad.
Kini, setelah puluhan tahun konflik berkepanjangan, rakyat Suriah menyambut babak baru dalam sejarah mereka. Namun, tantangan untuk membangun kembali negara yang hancur akibat perang masih menjadi pekerjaan besar bagi seluruh pihak di Suriah. .(*)
Editor: Elok WA R-ID