Repelita, Tangerang - Tiga alasan yang diajukan oleh politikus PKS asal Banten, Mulyanto, untuk menjelaskan mengapa klaim Jaringan Rakyat Nusantara (JRP) terkait pembangunan pagar laut yang dibangun secara swadaya tidak logis. Pagar laut tersebut disebut-sebut dibangun untuk mencegah abrasi, namun justru dianggap merugikan nelayan dan merusak ekosistem.
"Ya sangat kontradiktif. Pernyataan nelayan pada umumnya, pagar laut ini merugikan," ujar Mulyanto.
Tiga alasan utama yang ia kemukakan sebagai dasar ketidaklogisan klaim JRP adalah sebagai berikut. Pertama, nelayan terpaksa memutar jauh saat melaut karena adanya pagar laut tersebut. Alih-alih mendapatkan keuntungan, mereka justru mengalami kerugian. "Secara resmi mereka sampaikan kepada Ombudsman RI. Bahkan Ombudsman sudah menghitung kerugian nelayan per tahun," ujarnya.
Kedua, biaya yang dibutuhkan untuk membangun pagar laut sangat tinggi. Berdasarkan hitungan kasar, biaya untuk membuat pagar laut sekitar Rp 500 ribu per meter. Jika dihitung untuk panjang 30 km, maka total biayanya bisa mencapai Rp 15 miliar. "Mengeluarkan uang sebanyak ini untuk keperluan publik (tugas negara) sangat kontradiktif dengan kondisi ekonomi nelayan yang memprihatinkan sekarang ini," kata Mulyanto.
Ketiga, pagar laut yang dianggap sebagai pemecah ombak justru merusak ekosistem, sehingga klaim tersebut tidak masuk akal. "Apalagi kalau dikatakan pagar laut dari bambu itu untuk pemecah ombak, maka makin kontradiktif alias tidak rasional lagi," ujarnya menambahkan.
Sebelumnya, Koordinator JRP, Sandi Martapraja, menjelaskan bahwa pagar laut yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tangerang dimaksudkan untuk mencegah abrasi. "Pagar laut ini sengaja dibangun oleh masyarakat untuk mencegah abrasi," ujarnya.
Menurut Sandi, tanggul laut memiliki fungsi penting, seperti mengurangi dampak gelombang besar dan melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai serta merusak infrastruktur. "Tanggul ini juga berfungsi sebagai mitigasi ancaman tsunami, meski tidak bisa sepenuhnya menahan tsunami," ujarnya.
Sandi juga menambahkan bahwa bila kondisi tanggul laut baik, area sekitar pagar bambu bisa dimanfaatkan sebagai tambak ikan yang membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat setempat. "Tambak ikan di dekat tanggul juga dapat dikelola secara berkelanjutan untuk menjaga ekosistem tetap seimbang," katanya.
Repelita sebelumnya sempat mengunjungi salah satu lokasi pagar laut di perairan Kronjo, Kabupaten Tangerang, di mana pagar bambu ditancapkan dari 500 meter hingga satu kilometer dari muara kali. Bentuk pagar bambu ini beragam, ada yang ditancapkan satu per satu dan ada juga yang dibentuk semacam koridor dengan jaring di sampingnya serta anyaman bambu.
Nurdin, ketua kelompok usaha bersama nelayan di Kronjo, mengungkapkan bahwa sejak awal pembangunan pagar tersebut, nelayan mempertanyakan tujuannya. "Saat itu tak ada penjelasan atau izin kepada para nelayan terkait pembangunan pagar," ujarnya.
Setelah didesak, pihak terkait akhirnya menjelaskan bahwa pagar tersebut dibangun untuk keperluan pemetaan menggunakan drone. "Kata orang dinas itu buat patok. Jadi bentuknya macam peta nanti kalau difoto pakai drone," ujar Nurdin.
Ia juga mengetahui bahwa pagar-pagar tersebut tidak dimaksudkan untuk berdiri permanen. Setelah pemetaan selesai, pagar-pagar tersebut akan dibiarkan hancur. "Itu sudah ada yang rusak, dibiarin saja. Katanya memang buat difoto, nanti setelah itu nelayan terserah lagi mau pakai lautnya," jelasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok