Repelita Jakarta - Aktivis 98, Ubedillah Badrun, menyampaikan pandangannya terkait polemik pemberian gelar kehormatan atau tanda jasa seperti pahlawan nasional dalam diskusi daring yang digelar Lingkar Diskusi Indonesia (LIDI) bertajuk “Pro-Kontra Gelar Pahlawan: Kejar Tayang?” pada Minggu, 26 Oktober 2025.
Ia menilai bahwa pemerintah Indonesia seharusnya meniru pendekatan negara lain seperti Prancis dalam menetapkan standar pemberian gelar kehormatan.
Menurut Ubedillah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan memang telah mengatur mekanisme pemberian gelar, namun belum merinci indikator yang jelas mengenai kelayakan seseorang untuk menerima penghargaan tersebut.
Ia menekankan pentingnya konstruksi aturan yang lebih ketat dan terukur dalam penyematan gelar kehormatan, karena hal itu akan berdampak langsung terhadap citra negara di mata dunia.
Sebagai contoh, ia mempertanyakan integritas tokoh yang akan dianugerahi gelar pahlawan, apakah benar-benar bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Menurutnya, penyematan gelar tidak seharusnya otomatis diberikan kepada setiap pemimpin negara hanya karena jabatannya.
Kalau seluruh presiden harus disematkan sebagai pahlawan nasional karena posisinya sebagai presiden, sepanjang sejarah kita nggak akan maju-maju.
Ubedillah menyarankan agar Indonesia belajar dari negara seperti Prancis, yang tetap menegakkan hukum terhadap mantan pemimpinnya.
Nicolas Sarkozy (mantan Presiden Prancis) misalnya, dia masuk penjara, diadili perkaranya. Korea Selatan, dalam 30 tahun terakhir, mantan presidennya ada kurang lebih lima atau enam itu masuk penjara. Karena melanggar hukum. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok
