Repelita Jakarta - Pakar transportasi dan kebijakan publik, Agus Pambagio, mengungkapkan pengalamannya saat dipanggil oleh Presiden Joko Widodo untuk membahas proyek kereta cepat yang kini menjadi sorotan publik akibat beban utang besar yang ditinggalkan kepada pemerintahan berikutnya.
Dalam pertemuan tersebut, Agus mengaku terkejut ketika mengetahui bahwa gagasan pembangunan kereta cepat berasal langsung dari Presiden Jokowi, bukan dari kementerian atau lembaga terkait.
“Saya waktu itu dipanggil, saya katakan, ‘Pak, ini ide siapa?’ Beliau jawab, ‘Ide saya,’” ujar Agus saat berbicara di kanal Youtube Abraham Samad pada Senin, 27 Oktober 2025.
Agus awalnya menduga bahwa proyek tersebut diinisiasi oleh Kementerian BUMN atau Kementerian Perhubungan. Namun, Jokowi menyampaikan bahwa ia telah menyerahkan kepada Menteri Perhubungan, tetapi karena tidak mendapat persetujuan, ia memerintahkan Menteri BUMN untuk melanjutkan proyek tersebut.
Agus juga menyinggung kerja sama awal Indonesia dengan Jepang yang telah menyiapkan studi proyek kereta cepat Jakarta–Surabaya, dimulai dari tahap awal hingga Bandung. Namun, kerja sama itu mendadak dialihkan ke Tiongkok.
“Saya bilang, kan ada perjanjian kita dengan Jepang. Nggak sopan,” kata Agus.
Menurut penjelasan Agus, Jokowi menilai proses pembiayaan dan negosiasi dengan Jepang terlalu rumit. Jokowi juga sempat menceritakan pengalamannya naik kereta cepat di Tiongkok dan bertemu dengan Presiden Xi Jinping.
“Waktu saya di Beijing, saya diajak naik itu ke Shanghai, cepat sekali dan bagus, enak sekali. Presiden Tiongkok Xi Jinping bertanya, ‘Bapak mau?’ Saya bilang ‘Mau.’ ‘Mau dibantu?’ Ya sudah,” ujar Agus menirukan percakapan tersebut.
Agus menjelaskan perbedaan mendasar antara model kerja sama Jepang dan Tiongkok dalam proyek infrastruktur. Menurutnya, Jepang cenderung detail dan rumit di awal, tetapi hasilnya rapi dan tuntas seperti proyek MRT. Sebaliknya, Tiongkok menawarkan kemudahan di awal, namun menyisakan kesulitan di tahap akhir.
“Kalau kita bicara loan Jepang itu memang detail banget dan ribet, tapi setelah selesai ya beres kayak MRT. Kalau Cina kebalikannya, gampang di depan, sekarang susahnya di belakang,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa Jepang telah melakukan studi awal yang sangat komprehensif. Studi tersebut disusun dalam bentuk buku tebal dan telah diserahkan kepada pihak Indonesia, namun akhirnya dibongkar oleh Tiongkok karena dianggap lebih murah.
“Jepang sudah bikin studi lebih dulu, satu buku tebal, dan itu dikasihkan, tapi akhirnya dibongkar sama Cina karena dianggap lebih murah. Bunganya waktu itu cuma 0,1 persen, dan break even point-nya 40 tahun,” ungkap Agus.
Kini, setelah proyek tersebut terbukti menimbulkan beban finansial besar, Agus mengaku hanya bisa mengingatkan kembali apa yang pernah ia sampaikan hampir satu dekade lalu.
Ia menilai bahwa Indonesia belum membutuhkan kereta cepat dan keputusan tersebut diambil tanpa perhitungan matang terhadap biaya serta dampaknya terhadap ekonomi nasional.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

